Jumat 22 Jul 2022 19:42 WIB

Ternyata, 30 Persen ASN Nggak Ngapa-ngapain Saat WFH

Indonesia bermasalah dari segi banyaknya ASN tanpa kompetensi kerja yang cukup.

Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Bogor bekerja di lingkungan kerja Sekretariat Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (29/6/2021). Pemerintah Kota Bogor menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) bagi seluruh ASN di lingkungan kerja Kota Bogor untuk satu pekan kedepan sebagai upaya menekan laju penyebaran COVID-19 yang kasus positifnya terus meningkat.
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Bogor bekerja di lingkungan kerja Sekretariat Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (29/6/2021). Pemerintah Kota Bogor menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) bagi seluruh ASN di lingkungan kerja Kota Bogor untuk satu pekan kedepan sebagai upaya menekan laju penyebaran COVID-19 yang kasus positifnya terus meningkat.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Dessy Suciati Saputri

Plt Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengungkapkan 30 persen ASN tidak bekerja sama sekali ketika penerapan skema bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Hal ini diketahui setelah melihat hasil survei.

Baca Juga

Bima menjelaskan, survei itu dilakukan ketika pemerintah menerapkan kebijakan 100 persen WFH selama tiga bulan pada masa awal pandemi Covid-19. Hasilnya, 30 persen ASN mengaku bekerja lebih berat saat WFH, 40 persen menganggap beban kerjanya sama seperti saat work from office (WFO), dan 30 persen sisanya tidak menjawab survei tersebut.

"Sebanyak 30 persen sisanya tidak menjawab mungkin (karena pekerjaannya) lebih ringan atau tidak bekerja, ya. Jadi dari data itu saja kita tahu, 30 persen ASN nggak ngapa-ngapain," ungkap Bima dalam Rakornas Kepegawaian yang ditayangkan secara virtual, Kamis (21/7).

Menurut Bima, kalau 40 persen ASN yang mengaku beban kerjanya sama saja itu dipaksa bekerja lebih banyak lagi, maka jumlah ASN yang "nggak ngapa-ngapain" akan jadi lebih besar. Mungkin, separuh dari ASN bakal tidak bekerja.

"Jadi ASN kita itu terlalu banyak. Tapi tidak punya kompetensi kerja yang cukup," kata Bima.

Untuk diketahui, jumlah ASN kini sekitar 4,25 juta orang. Terdiri atas 3,9 juta PNS dan 351 ribu pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Menurut Bima, banyaknya ASN yang tidak bekerja saat WFH ini terjadi karena ketidakmampuan mereka menggunakan teknologi digital. Mereka beralasan sudah tidak bisa mempelajari teknologi digital karena sudah berusia lanjut.

"Ada yang mengatakan, 'kami tidak mampu, Pak, untuk mempelajari digital, kami sudah tua'. Itu mungkin bukan tidak mampu, tapi tidak mau belajar," kata Bima tegas.

Bima mengatakan, permasalahan baru muncul ketika pemerintah kembali menerapkan skema WFO. Para ASN yang sudah terbiasa bekerja WFH selama dua tahun terakhir, banyak yang meminta bekerja dari rumah lagi.

"Ketika WFO banyak yang bertanya, 'Pak, kita kan sudah hampir 2 tahun WFH oke oke saja tuh, kinerja kita terpenuhi, pelayanan publik tercapai. Apa kami harus WFO?" ucapnya.

Setelah WFH diperbolehkan kembali, muncul lagi pertanyaan baru. Para ASN mempertanyakan apakah jam kerja mereka tetap dari pukul 08.00 hingga 16.00 ketika WFH. Bima menjawab bahwa jam kerja ASN tetap seperti biasa meskipun WFH.

"Kemudian ada pertanyaan lagi, 'kalau saya menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, apakah saya bisa menggunakan sisa waktu untuk diri saya?' Boleh saja, tapi untuk apa sih?" kata Bima.

"Mereka jawab, 'kami ingin bangun start up'," imbuhnya.

Dengan keinginan para ASN bekerja paruh waktu seperti itu, Bima pun mempertanyakan apakah birokrasi Indonesia masih butuh pekerja penuh waktu. "Pertanyaannya adalah apakah kita butuh full time ASN. Kalau kita tidak butuh full time ASN, apakah kita butuh PNS?" ujarnya.

Bima membayangkan, ke depannya jumlah PNS akan turun drastis. Terutama yang banyak adalah PPPK.

Bima menjelaskan, jumlah PPPK akan lebih banyak karena mereka akan menempati jabatan pelayanan publik di setiap instansi pemerintah. Sedangkan PNS jumlahnya sedikit karena hanya dibutuhkan untuk mengisi jabatan pembuat kebijakan.

Menurut Bima, komposisi pekerja pemerintah yang lebih banyak diisi oleh PPPK dibanding PNS ini sudah diterapkan lebih dulu di banyak negara dunia. Secara internasional, pembagian ini menggunakan terminologi civil servant (PNS) dan government worker (PPPK).

Salah satu negara yang sudah menerapkan komposisi lebih dominan PPPK itu adalah Amerika Serikat (AS). Bima mengatakan, jenis pekerjaan seperti pemadam kebakaran, polisi, pekerja sosial, dan guru di Negeri Paman Sam itu semuanya diisi PPPK.

Bahkan, lanjut dia, sudah ada negara yang sudah sepenuhnya menggunakan PPPK, yakni Selandia Baru dan Australia. "Mereka hanya mengerjakan pekerjaan berdasarkan project base, kalau sudah selesai mereka bisa keluar atau melanjutkan di project yang lain," ujarnya.

Bima menyebut, komposisi pekerja yang lebih banyak diisi PPPK itu lah yang kini mulai diterapkan di Indonesia. Hanya saja, PPPK di Indonesia tidak mendapatkan dana pensiun seperti halnya PPPK di negara lain.

Untuk diketahui, upaya pemerintah membuat komposisi PPPK lebih banyak dari pada PNS itu tampak dalam komposisi CASN tahun 2022 ini. Pemerintah diketahui hanya akan membuka formasi untuk PPPK saja, yakni 1 juta guru. Sedangkan lowongan PNS tidak ada.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement