REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Islam menetapkan suami sebagai pihak satu-satunya yang berhak menjatuhkan talak atau cerai. Hal itu dengan pertimbangan bahwa dialah yang selayaknya lebih berkeinginan dan berkepentingan akan keberlangsungan pernikahannya.
Di sisi lain dalam perkara cerai, meski Islam membolehkan hal demikian, namun ada baiknya sepasang suami istri perlu menimbang kembali makna rumah tangga yang dijalani.
Kesinambungan kehidupan suami istri dan keluarga secara damai, harmonis, dan sejahtera merupakan tujuan utama syariat Islam yang sangat didambakan dan senantiasa wajib dipelihara dengan upaya yang sungguh-sungguh.
Muhammad Bagir dalam kitab Muamalah dalam Alquran, Sunnah, dan Para Ulama menjelaskan, ditetapkannya talak tidak dipegang istri karena bukan si istri yang telah mengeluarkan banyak dari hartanya untuk pernikahan.
Maka sekiranya suami hendak bercerai dengan istrinya yang sekarang dan ingin melaksanakan pernikahan setelah itu, dia harus memberikan uang mut'ah (ganti rugi) kepada istri yang dicerai.
Tak hanya itu, suami juga harus memberikan nafkah baginya selama masa iddah, dan sebagainya yang pasti memberati anggaran belanja. Di antara persyaratan suami untuk menjatuhkan talak atas istrinya adalah baligh, berakal waras, dan tidak dipaksa.
Jika si suami gila atau belum dewasa atau melakukannya dalam keadaan di bawah ancaman, maka talaknya itu, apabila dia lakukan juga, dianggap tidak berlaku. Orang-orang seperti itu dianggap tidak mencukupi persyaratan untuk melakukan tindakan hukum. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عن ثلاثة: عن النائم حتى يَسْتَيْقِظَ، وعن الصبي حتى يَحْتَلِمَ، وعن المجنون حتى يَعْقِلَ
"Pena (pertanggungjawaban) terangkat dari tiga kelompok manusia: dari yang dalam keadaan tidur sampai dia terjaga kembali, dari anak kecil sampai dia dewasa, dan dari orang gila sampai dia berakal kembali (yakni sembuh dari kegilaannya).”
Telah diriwayatkan pula bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Tidak akan dilakukan perhitungan atas umatku (yakni, tidak akan dimintai pertanggungjawaban) berkenaan dengan perbuatan yang mereka lakukan karena kesalahan (yakni, tidak sengaja), karena kealpaan atau karena paksaaan."