REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Islam memberikan sejumlah ketentuan terhadap perkara perceraian dalam rumah tangga. Salah satunya suami sebagai pihak satu-satunya yang berhak menjatuhkan talak atau cerai
Namun, menurut Muhammad Bagir dalam kitab Muamalah dalam Alquran, Sunnah, dan Para Ulama, para ulama saling berselisih pendapat tentang sah atau tidaknya talak seorang suami dalam keadaan tertentu, misalnya suami yang dalam keadaan mabuk.
Mayoritas ulama ahli fikih (fuqaha) berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan mabuk dianggap sah dan berlaku. Mengingat bahwa rusaknya akalnya atau hilangnya kesadarannya adalah akibat kehendak dan perbuatannya sendiri.
Walaupun demikian, ada pula sebagian dari ulama yang menganggap bahwa talaknya itu tidak jatuh. Mengingat keadaannya disamakan dengan orang gila yang talaknya tidak dianggap sah karena hilangnya akal atau kekurangan dalam kewarasan.
Seperti itulah pendapat Usman dan beberapa tokoh sahabat lain, juga salah satu dari dua pendapat Imam Syafii dan sebagian pengikutnya. Seperti Al-Muzani, juga sebagian pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah seperti At-Thahawi serta Al-Karkhi.
Sayyid Sabiq menyebutkan dalam Fikih Sunnah-nya bahwa dalam perundang-undangan peradilan agama di Mesir, ditetapkan tentang tidak berlakunya talak dari orang mabuk dan yang dipaksa.
Hati-hati dengan perceraian
Di sisi lain dalam perkara cerai, meski Islam membolehkan hal demikian, namun ada baiknya sepasang suami istri perlu menimbang kembali makna rumah tangga yang dijalani.
Kesinambungan kehidupan suami istri dan keluarga secara damai, harmonis, dan sejahtera merupakan tujuan utama syariat Islam yang sangat didambakan dan senantiasa wajib dipelihara dengan upaya yang sungguh-sungguh.
Walaupun demikian, Allah SWT dengan kebijaksanaan dan keluasan ilmu-Nya, mengetahui pula bahwa tidak semua perkawinan dapat berlangsung aman, damai, dan bahagia sebagaimana diharapkan. Adakalanya disebabkan karena perbedaan besar dalam watak kepribadian, pengalaman, serta intelektualitas masing-masing antara suami dengan istri.
Atau bisa jadi disebabkan pula oleh pengkhianatan salah seorang dari mereka yang tidak bersungguh-sungguh dalam memelihara kesucian ikatan di antara mereka bahkan upaya mempertahankan rumah tangga dengan segala risiko justru akan mendatangkan mudharat jauh lebih besar, baik terhadap suami maupun istri atau salah satu dari keduanya, bahkan anak-anak mereka juga.
Menurut Ibnu Sina, sudah selayaknya dibukakan jalan keluar untuk perceraian. Mengingat bahwa upaya mengabaikan sama sekali semua penyebab keretakan hubungan antara suami-istri dapat mendatangkan mudharat lebih besar.
Di antaranya, kenyataan bahwa sebagian manusia memiliki watak dan kebiasaan tertentu yang menjadikannya tidak bisa hidup damai dan harmonis ketika berdampingan dengan sebagian yang lain yang memiliki watak dan kebiasaan bertentangan.