Jumat 29 Jul 2022 01:36 WIB

FIBA Asia Cup 2022, Belajar dari Basket Level Tinggi di Rumah Sendiri

Jepang tak mau menyerah dengan postur yang tak tinggi di bola basket.

Pebasket Jepang Yuki Kawamura (kedua kiri) berusaha melewati adangan pebasket Australia Samson James Froling (kiri) dalam laga babak perempat final FIBA Asia Cup 2022 di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Pebasket Jepang Yuki Kawamura (kedua kiri) berusaha melewati adangan pebasket Australia Samson James Froling (kiri) dalam laga babak perempat final FIBA Asia Cup 2022 di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Kamis (21/7/2022).

Oleh: Israr Itah, Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Dua pekan ke belakang, Istora Senayan Jakarta jadi "surga" para penikmat bola basket Tanah Air. Di salah satu arena olahraga tertua dan bersejarah ini, digelar kejuaraan bola basket Asia, FIBA Asia Cup 2022 dari 12 sampai 24 Juli lalu. 

Indonesia menjadi tuan rumah setelah terakhir menjadi penyelenggara pada 1993. Saat itu, kejuaraan masih bernama ABC Championship.

Saya yang memulai karier jurnalistik sebagai peliput basket dan cukup menggemari olahraga olah si karet bundar ini, tentu saja menyambut dengan suka cita. Apalagi, saya mendapatkan akses yang lebih mudah dibandingkan rekan-rekan jurnalis lainnya untuk berinteraksi dengan para pebasket top Asia dan Oseania tersebut.

Dari mereka saya belajar banyak. Mulai dari teknis permainan di lapangan sampai bagaimana mereka bersikap di luar lapangan. Dari pemain level Asia, hingga kelas NBA. Dari pelatih tak ternama sampai arsitek yang mengantarkan tim basket putri Jepang runner up Olimpiade 2021, Tom Hovasse.

Tom berada di daftar teratas favorit saya. Sosok ini sangat ramah dan terbuka membicarakan apa saja. Dari soal teknis permainan hingga filosofinya melatih tim Jepang yang tak banyak dihuni pemain berpostur tinggi. 

Saya mulai kagum kepada Tom saat ia mendampingi tim basket putri Jepang lolos ke final Olimpiade 2021. Dalam perjalanannya, Jepang hanya kalah dua kali melawan Amerika Serikat di penyisihan grup dan final. Selebihnya, Rui Machida menyikat tim-tim lain, termasuk Prancis dan Belgia, padahal kalah dalam rata-rata postur.

Tom sosok yang optimistis dan tenang dalam kondisi apa pun. Ia bisa menceritakan secara detail saat ditanya wartawan soal penyebab kekalahan mereka tanpa menyinggung dan menyalahkan pemainnya. Ia juga jarang ngeles, dan selalu punya kata-kata yang pas.

Tim tampak sangat paham soal kelebihan dan kekurangan timnya serta cara memaksimalkannya. Ini mungkin berkat rekam jejaknya bermain di Liga Jepang saat masih aktif, dan kemudian menjadi asisten pelatih di negeri Matahari Terbit.

Bukan berarti Jepang selalu menang di FIBA Asia Cup 2022 ini, tidak. Jepang terhenti di perempat final. Namun mereka menunjukkan perlawanan selama 40 menit yang pasti membekas bagi para penonton yang hadir di Istora. Yang lebih penting, menurut Tom, Jepang terus berkembang dari terakhir kali ia memegang timnya melawan Australia, yang menghentikan mereka di perempat final dengan skor 99-85. Sebelumnya saat kedua tim bertemu di Kualifikasi FIBA World Cup 2023, Australia menang telak 98-52.

Tom mengajarkan kesabaran, percaya pada proses. Yang paling penting dari pelatih 55 tahun ini tentu saja pesan bahwa untuk membentuk tim basket jago di level Asia, tidak harus mengumpulkan pemain-pemain jangkung. Andai tak punya, pelatih harus bisa memaksimalkan potensi yang ada untuk menutupi kekurangan tersebut. Ia menunjukkan langsung hasilnya di lapangan.

Tom tak mau menggurui dan terkesan sok tahu saat diminta memberikan saran gaya bermain basket seperti apa yang harus dimainkan Indonesia. Namun pemaparannya secara tak langsung memudahkan kita untuk mengambil kesimpulan style bermain yang paling pas untuk Indonesia, yang secara rata-rata posturnya sama seperti Jepang. 

Dia juga memberikan penjelasan gamblang aspek yang perlu diperkuat. Yang paling penting, menurut dia, pelatih memahami budaya pemainnya dan pemain percaya gaya yang dimainkan tersebut bisa bekerja dengan baik meskipun butuh waktu.

Berikutnya ada Yuta Watanabe, pemain Toronto Raptors di kompetisi NBA, dan Thon Maker, center Australia yang juga pernah merasakan kerasnya kompetisi NBA. Dua sosok ini sangat hangat kepada fans dan media. Status sebagai pemain kelas dunia jadi tak berasa. Saya kebetulan sempat berbincang dengan keduanya.

Mereka sangat sopan dan seolah paham komentar yang ingin kita dengar dari mulut mereka saat menjawab pertanyaan kita. Thon, dalam satu wawancara dengan rekan media, membuat saya terkagum karena sebelum memulai, dia dengan sopan bertanya ke arah mana si teman wartawan ingin dia berbicara.

Berikutnya ada Khalid M Abdel Gabar, point guard Arab Saudi yang timnya pulang lebih cepat karena tak pernah menang. Setelah kalah dari Yordania dan dipastikan tersingkir, dia tetap tenang menjawab pertanyaan dari wartawan. Pemain yang besar di Kanada ini memberikan penjelasan dan mengekspresikan kekecewan dengan cara terbaik yang pernah saya lihat. Masih ada senyum kecil di wajahnya di tengah kesedihan. 

Hal serupa ditunjukkan Wael Arakji, point guard Lebanon yang kalah di final, tapi masih bisa bertutur kata sopan dan terjaga meskipun sisa kekecewaan masih terlukis di wajahnya. Sangat menyenangkan jika para atlet kita, bukan cuma pebasket, bisa seperti mereka ini, mampu mengontrol emosi dengan baik saat kalah. 

Dari sisi teknis, sangat menyenangkan melihat berbagai gaya bola basket tersaji di lapangan, di rumah sendiri, tanpa harus mengeluarkan uang puluhan juta pergi ke luar negeri. Saya dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mereka menjalani persiapan, mulai dari latihan, pemanasanm hingga bertarung habis-habisan di lapangan. Segala macam adjustment taktik saat merespons dinamika pertandingan, sangat menarik disaksikan.  

Saya berharap semua pihak memetik pelajaran dari kehadiran FIBA Asia Cup 2022. Mulai dari pemain, pelatih, hingga fans.

Pemain basket profesional kita, dan mereka yang baru mulai meniti karier sebagai pemain basket, harus sadar bahwa untuk menjadi pebasket level Asia saja, mereka harus bekerja keras meningkatkan sejumlah aspek fundamental dan teknis. Untuk menjadi pebasket hebat, butuh kerja keras, dedikasi, dan rasa tak pernah puas. Pebasket hebat tidak hadir dari ramainya follower di sosial media atau seringnya mereka mendapatkan pujian.

Fans juga mesti paham untuk tidak berekspektasi kejauhan dari realita kepada para pebasket kita, tapi pada saat yang sama juga mendukung mereka berkembang. Bukan malah mengolok-olok sampai mencaci maki pemain kita. 

Pelatih kita juga sudah saatnya beranjak dari alasan tinggi badan ketika kalah. Atau menyebut lawan lebih berpengalaman untuk mencari apologi saat kalah. Sementara di lain waktu mengatakan, timnya diisi pemain berumur sehingga kesulitan menghadapi kecepatan dan energi pemain-pemain muda. 

"Bermain basket itu 40 menit," kata Tom. Di kesempatan lain, pelatih Jad El Hajj memuji habis lawannya Australia sebelum final FIBA Asia Cup 2012. "Tapi kami punya 40 menit untuk diperjuangkan." Terbukti, sebagai underdog, Lebanon berjuang sampai titik terakhir, sebelum kalah 73-75.

Sudah pasti, FIBA Asia Cup tak akan datang lagi dalam waktu dekat. Namun kabar baiknya, tahun depan kita menjadi tuan rumah FIBA World Cup 2023. Tim-tim kaliber dunia akan datang lagi ke Jakarta untuk berlaga di venue baru Indonesia Arena. Saya dan para penggemar basket lainnya pasti bisa belajar hal baru lagi nanti. 

Oh ya, penyelenggaraan FIBA Asia Cup 2022 mendapatkan pujian dari FIBA. Semoga ini menjadi modal baik untuk Indonesia menggelar FIBA World Cup tahun depan. 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement