REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Belakangan kerap terjadi di segelintir umat Islam yang memahami hadits secara tektualis saja. Dampaknya, hal demikian memicu adanya penyimpangan-penyimpangan makna dan pemahaman dari hadits yang dimaksud.
Munculnya kelompok-kelompok radikalisme dan terorisme salah satunya memanfaatkan teks hadits yang tidak relevan dengan pemahamannya secara kontekstualis komprehensif. Najih Arromadloni dalam buku Daulah Islamiyah dalam Alquran dan Sunnah menjelaskan, metode kritik hadits tidak hanya mensyaratkan kritik sanad dan kritik matan, melainkan juga pemahaman yang baik atas kandungan hadits.
Pemahaman terhadap hadits, mempunyai keragaman acuan. Ada yang disepakati dan ada pula yang menyisakan polemik. Ulama hadis telah menyusun kaidah-kaidah tersebut dalam bentuk konsep ma'ani al hadits guna memandu pemerhati dan peneliti hadis dalam memahamai hadits secara komprehensif.
Di era kontemporer seperti saat ini, konsep tersebut telah mengalami berbagai penyempurnaan. Misalnya penggunaan beragam pendekatan ilmu sosial dan humaniora, seperti bahasa, hermeneutika, sejarah, sosio-histori (asbabul wurud), psikologis medis dan antropologis, dengan mengedepankan kontekstulalitas.
Artinya, hadits Nabi tidak ditangkap makna dan maksudnya melalui redaksi tekstualnya saja. Tapi juga dengan mengaitkan kontekstualnya. Sebab dari sisi kebahasaan, pemahaman terhadap hadi mencakup banyak pendekatan keilmuan seperti balaghah, mantiq, nahwu sharaf, filologi, semantik, hermeneutika, dan lainnya.
Belum dari aspek sejarah dan pendekatan sosiologis. Yusuf Al Qaradhawi merumuskan kaidah-kaidah pemahaman hadits dalam pendekatan yang lain. Yakni memahami hadits menurut Alquran, menghimpun hadis-hadis setema, memahami hadis menurut sebab, konteks, dan maksudnya, memahami hadits dengan membedakan sarana yang berubah dengan tujuan yang tetap.
Memahami hadits dengan membedakan yang hakiki dan majasi, memahami hadis dengan membedakan alam ghaib dengan alam nyata, serta memahami hadis dengan memastikan konotasi maknanya.