Senin 25 Jul 2022 16:13 WIB

Petani: Ekspor CPO yang Sulit Hanya Alasan Pengusaha untuk Tekan Harga TBS

Sebab kenyataannya, ekspor CPO justru meningkat, tapi harga TBS tidak naik.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Petani mengangkat tandan buah segar (TBS) sawit ke dalam pikap untuk dibawa ke pengepul di Kampung Sidodadi, Kabupaten Siak, Riau, Kamis (10/11). Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai, sulitnya ekspor CPO usai muncul kebijakan larangan ekspor sementara hanya menjadi dalih para pengusaha untuk menekan harga tandan buah segar (TBS). Sebab, pada kenyataannya, ekspor CPO saat ini justru terus mengalami kenaikan dari tahun lalu.
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Petani mengangkat tandan buah segar (TBS) sawit ke dalam pikap untuk dibawa ke pengepul di Kampung Sidodadi, Kabupaten Siak, Riau, Kamis (10/11). Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai, sulitnya ekspor CPO usai muncul kebijakan larangan ekspor sementara hanya menjadi dalih para pengusaha untuk menekan harga tandan buah segar (TBS). Sebab, pada kenyataannya, ekspor CPO saat ini justru terus mengalami kenaikan dari tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai, sulitnya ekspor CPO usai muncul kebijakan larangan ekspor sementara hanya menjadi dalih para pengusaha untuk menekan harga tandan buah segar (TBS). Sebab, pada kenyataannya, ekspor CPO saat ini justru terus mengalami kenaikan dari tahun lalu.

Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, mengatakan, persepsi publik soal dampak larangan ekspor terlalu berlebihan sehingga merugikan petani yang memproduksi TBS. "Sebenarnya frame yang dibangun selama ini seram. Bahwa setelah larangan ekspor dicabut, tidak ada lagi ekspor CPO dan turunanannya. Tapi data menunjukkan ekspor masih berlangsung," kata Gulat dalam sebuah dialog virtual di Jakarta, Senin (25/7/2022).

Baca Juga

Larangan ekspor CPO dimulai pada 28 April 2022 dan dicabut per 23 Mei 2022. Gulat menyampaikan, ekspor CPO dan turunannya pada April 2022 mencapai 2,58 juta ton, turun 20 persen year on year (yoy) dibandingkan April 2021.

Memasuki Mei, ekspor masih berlanjut meskipun kecil, yakni sebesar 1,01 juta ton atau turun 67 persen yoy. Memasuki Juni, ekspor kembali meningkat menjadi 2,91 juta ton, naik 28 persen yoy.

"Artinya ekspor berjalan. Hati-hati. Ini data kami dapat dari Kemenkeu yang sudah menerima bea keluar (BK) CPO," kata Gulat.

Adapun pada bulan ini, realisasi ekspor per 23 Juli 2022, sebesar 1,3 juta ton atau turun 47 persen dari periode sama tahun lalu yang mencapai 2,77 juta ton.

"Artinya apa? Ekspor lancar. Enggak jelek-jelek banget. Tapi frame yang dibangun adalah frame untuk membuat petani sawit selalu terpuruk harganya," kata dia.

Ia menduga, pihak eksportir sengaja menyampaikan bahwa ekspor tidak lancar. Alhasil, pabrik pengolahan CPO akan merespons dengan menekan harga TBS petani agar harga jual CPO juga bisa ditekan.

Ia mencatat, harga CPO sempat menyentuh Rp 8.000 per kg dari rata-rata harga internasional sekitar Rp 15 ribu per kg. Dengan harga itu, TBS petani hanya ditawar seharga Rp 1.100 per kg. Gulat mengatakan, semua alur itu memberikan dampak sistemik dan lagi-lagi, petani menjadi pihak paling dirugikan.

"Makanya saya sangat menyesalkan ketika informasi ini digoreng ekspor tidak berjalan lancar, tapi data menunjukkan ekspor berjalan. Ini saya sebut sudah permainan," kata dia.

Faktor lain pun menguatkan dugaan permainan itu. Sebab, setelah pemerintah menghapus pungutan ekspor sawit sebesar 200 dolar AS per ton, nyatanya harga CPO maupun TBS tetap tidak terdongkrak.

Menurut hitungan Apkasindo, penghapusan pungutan ekspor seharusnya memberikan dampak pada kenaikan harga CPO sebesar Rp 3.000 per kg dan TBS Rp 1.000 per kg. Nyatanya, harga TBS hanya terdongkrak Rp 250 per kg sementara CPO tetap di kisaran Rp 9.000 per kg.

"Seharusnya harga TBS kami hari ini adalah Rp 2.450 per kg, tapi mengapa kami cuma menerima Rp 1.000 - Rp 1.250 per kg sampai hari ini," ujarnya.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengatakan, ekspor CPO pada semester pertama memang mengalami penurunan hingga 38 persen di bawah rencana.

Di sisi lain, pengusaha pun saat ini memang sulit untuk mendapatkan persetujuan ekspor. Pasalnya, para eksportir harus memenuhi kewajiban domestic market obligation (DMO) untuk pasar dalam negeri baru diperbolehkan ekspor. "Kita pelaku usaha juga masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan PE," katanya.

Lebih lanjut, Sahat menegaskan, rata-rata produksi CPO dan CPKO per bulan sekitar 4,2 juta ton. Sementara, pangsa pasar didominasi oleh pasar luar negeri lebih dari 60 persen. Jika kinerja ekspor bulanan hanya sekitar 1 juta ton, situasi tersebut mengkhawatirkan bagi industri CPO.

"Oleh karena itu, situasinya sangat gawat, ekspor harus dipercepat jalannya dengan menghilangkan kewajiban DMO," kata dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement