REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kasus kekerasan anak di Jabar angkanya masih tinggi. Bahkan, pada 2021, jumlahnya naik dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Kepala UPTD PPA Jabar, Anjar Kusdinar, kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak di Jabar pada 2021 berdasarkan data simfoni-PPA yang terlaporkan itu keseluruhan ada 1.677 kasus.
"Itu total kasus yang terlaporkan. Tetapi untuk kasus yang korbannya anak ini kurang lebih sekitar 1.088 korban ya di tahun 2021. Simfoni itu sistem informasi perlindungan perempuan dan anak itu milik Kementerian PPA ya," ujar Anjar kepada wartawan di Gedung Sate, Senin (25/7).
Anjar menjelaskan, anak-anak tersebut menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan. Di antaranya, kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, dan trafficking.
"Itu semua memang ada lah. Cuma memang jumlahnya yang berbeda-beda tetapi jenis-jenis kekerasan itu kalau dikatakan paling banyak ya fisik psikis," kata Anjar.
Anjar mengatakan, kalau berbicara data trendnya memang meningkat karena angkanya meningkat dari tahun sebelumnya. Tapi mungkin, pihaknya ingin garis bawahi itu bahwa masyarakat itu sadar aware bahwa kasus kasus ini harus dilaporkan.
"Dan juga ini berkat mungkin layanan yang diberikan baik itu pemerintah atau dari organisasi masyarakat yang penyelenggara layanan, sudah lebih baik dan sudah bisa dijangkau oleh masyarakat," katanya.
Jadi, kata dia, masyarakat sudah bisa sadar bahwa hal itu merupakan kasus yang harus dilaporkan. Mereka, tidak menganggap hal itu merupakan aib atau malu buat keluarga.
"Tahun 2022 ini mungkin yang masuk kepada kami saya belum melihat data yang keseluruhan. Tapi yang dilaporkan kepada kami di tingkat provinsi, kalau tadi kan (kasus yang 2021, red) itu Se-Jawa barat dari kota/kabupaten 1000 lebih. Kalau yang masuk kepada kami di provinsi itu sampai dengan saat ini sudah ada sekitar 300 pengaduan yang masuk ke kami provinsi," paparnya.
Saat ditanya berapa jumlah kasus kekerasan yang selesai, menurut Anjar, sebetulnya kalau berbicara selesai harus dilihat lagi. Karena, ini penanganannya itu harus komprehensif tergantung dari kebutuhan setiap korban itu berbeda-beda.
"Nah kami mungkin untuk hal pendampingan korban, Karena kami itu fokusnya itu perlindungan perempuan dan anak. Kami fokusnya melakukan ada pelayanan untuk perlindungan sementara. Kami mempunyai pemahaman, kemudian untuk pemulihan psikologis seperti itu ya kami sudah lakukan," paparnya.
Namun, kata dia, berkaitan dengan hukum yang misalnya tindak pidana, wilayahnya aparat penegak hukum. Tentu, memang semuanya memerlukan proses.
"Kami juga pendampingan seorang korban itu belum tentu bisa kembali pulih dalam waktu lewat tahun," katanya.
Untuk penanganan ini, kata Anjar, pihaknya terus melakukan pandataan yang berasal dari media sosial (Medsos). Karena, sekarang ini banyak sekali kasus yang kemudian menjadi viral muncul di Medsos.
"Memang seharusnya layanan atau pengaduan ini kan bisa dilakukan ke mana saja, ke aparat desa, ke PPA, P2TP2A yang ada di kabupaten/kota atau di provinsi," kata Anjar.
Anjar berharap, masyarakat bisa mengetahui saluran-saluran untuk pengaduan. Karena, pihaknya khawatir kalau lapor ke media sosial itu akan menimbulkan persepsi publik. "Juga mungkin seperti halnya kasus-kasus yang belum tentu misalnya terbukti yang bersangkutan itu sebagai pelaku, bahkan pelaku dapat menjadi korban berikutnya ketika anak itu mendapat bully dari masyarakat. Dan kami mengantisipasi semacam itu," paparnya.
Sementara menurut Plh Sekretaris Dinas
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), merangkap Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, Emma Kusuma, Pemprov Jabar akan membuat semacam Satuan Tugas (Satgas) di tingkat desa.
Satgas itu, kata dia, akan dibentuk bekerja sama dengan penggerak PKK di desa-desa. Namanya satgas paredicekas atau parenting cegah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Itu nanti akan segera dikukuhkan satgas cekas namanya, Satgas cegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Itu sedang kita finalkan dengan PKK," katanya.
Nanti, kata dia, akan ada advokasi misalnya oleh Satgas tersebut bagaimana bijak dalam penggunaan digital, gadget, segala macam. Kemudian bagaimana melindungi anak. Juga, ada semacam mempopulerkan kode-kode adanya kekerasan di lingkungan setempat atau cara yang harus diviralkan.
"Viral kode-kode tangan, tanpa bicara adanya kekerasan di lingkungan sekitar masyarakat sudah tahu dengan melihat kode," katanya.
Nantinya, kata dia, kalau ada kasus bisa laporan bisa ke UPTD setempat, ke aparat kepolisian dan bisa ke Satgas "Karena satgas itu ditingkat desa dari mulai RT/RW desa Kecamatan sampai kabupaten harus dibentuk," katanya.