REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Suhu di Timur Tengah meningkat jauh lebih cepat daripada rata-rata dunia dalam tiga dekade terakhir. Kondisi ini mulai menjadi perhatian para pemimpin negara di Timur Tengah karena sudah memberikan dampak yang nyata.
"Kami benar-benar melihat efeknya tepat di depan kami. Dampak ini bukanlah sesuatu yang akan menimpa kita sembilan atau 10 tahun ke depan," kata Lama El Hatow, konsultan perubahan iklim lingkungan yang telah bekerja dengan Bank Dunia dan mengkhususkan diri di Timur Tengah dan Afrika Utara.
“Semakin banyak negara bagian mulai memahami bahwa perlu untuk bertindak," katanya.
Ketika kawasan itu tumbuh lebih panas dan lebih kering, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa produksi tanaman di Timur Tengah bisa turun 30 persen pada 2025. Menurut World Bank, wilayah ini diperkirakan akan kehilangan 6-14 persen dari PDB pada 2050 karena kelangkaan air.
Timur Tengah adalah salah satu wilayah paling rentan di dunia terhadap dampak perubahan iklim dan dampaknya sudah terlihat. Di Irak, badai pasir yang intensif telah berulang kali melanda kota-kota tahun ini, menutup perdagangan dan mengirim ribuan orang ke rumah sakit.
Salinitas tanah yang meningkat di Delta Nil Mesir menggerogoti lahan pertanian yang penting. Sedangkan di Afghanistan, kekeringan telah membantu memicu migrasi kaum muda dari desa dalam mencari pekerjaan. Dalam beberapa pekan terakhir, suhu di beberapa bagian wilayah telah mencapai 50 derajat Celcius.
Salah satu alasan kerentanan Timur Tengah adalah tidak ada margin untuk meredam pukulan terhadap jutaan orang karena kenaikan suhu semakin cepat. Wilayah ini sudah memiliki suhu tinggi dan sumber daya air yang terbatas bahkan dalam keadaan normal.
Dana Moneter Internasional mencatat dalam sebuah laporan awal tahun menunjukan, pemerintah Timur Tengah juga memiliki kemampuan terbatas untuk beradaptasi. Ekonomi dan infrastruktur lemah dan peraturan seringkali tidak ditegakkan.
Ditambah lagi Kemiskinan tersebar luas, menjadikan penciptaan lapangan kerja sebagai prioritas di atas perlindungan iklim. Pada saat yang sama, negara-negara berkembang menekan negara-negara di Timur Tengah dan di tempat lain untuk melakukan pengurangan emisi, bahkan ketika mereka sendiri mengingkari janji.
Konferensi tahunan perubahan iklim PBB tahun ini yang dikenal sebagai COP27 akan diadakan di Mesir pada November. Acara itu akan menyoroti kawasan tersebut dan menunjukan pemerintah di seluruh Timur Tengah telah sadar akan bahaya perubahan iklim, terutama kerusakan yang sudah ditimbulkannya pada ekonominya.
Mesir, Maroko, dan negara-negara lain di kawasan ini telah meningkatkan inisiatif untuk energi bersih. Meski prioritas utama mereka di COP27 adalah mendorong lebih banyak pendanaan internasional untuk membantu menghadapi bahaya yang sudah dihadapi dari perubahan iklim.
Salah satu prioritas utama untuk Timur Tengah dan negara berkembang lainnya pada COP tahun ini adalah untuk menekan Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara kaya lainnya. Mereka akan diminta untuk menindaklanjuti janji-janji lama dalam memberi miliaran pembiayaan iklim.
Sejauh ini, negara-negara maju telah gagal memenuhi janji-janji itu. Sebagian besar uang yang mereka berikan telah digunakan untuk membantu negara-negara miskin membayar pengurangan emisi gas rumah kaca untuk mitigasi.