REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Rektor UIN Sunan Kalijaga 2010-2014, Prof Musa Asy'arie mengatakan, imaji bukan realitas. Jika imaji mau dibuat realitas itu realitas artificial, realitas opini, yang posisinya sama opini lain, bisa mengoreksi imaji tersebut.
Ia menilai, semua sektor yang mau dibangun untuk visi Indonesia 2045 merupakan bagian dari manusia. Sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan agama bagian dari manusa. Karenanya, landasan imaji itu harus berlandaskan konsep manusia.
Musa merasa di sini persoalannya. Sebab, dulu dikenal konsep manusia seutuhnya. Kini, manusia serasa tidak utuh, dipecah berbagai fragmentasi. Maka, filsafat manusia atau pandangan hakekat manusia harus jadi bagian penting membangun imaji.
Indonesia memang sudah memiliki UU. Tapi, UU dan realitas masih berjarak sangat jauh. Misal, sampai sekarang koperasi masih jadi soko guru perekonomian nasional karena belum dihapus dari UUD 1945. Tapi, lihatlah realitas koperasi Indonesia.
"Rasanya tidak ada koperasi yang hidup, kecuali koperasi simpan pinjam, dan itu SHU koperasi cuma cukup untuk membeli bakso karena SHU Koperasi UIN cuma Rp 35 ribu. Jadi, koperasi industri tidak ada," kata Musa dalam Dialog Kebangsaan: Imaji Satu Abad Indonesia yang digelar Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (26/7/2022).
Kegiatan sendiri dibuka melalui sambutan yang disampaikan langsung Rektor UII, Prof Fathul Wahid, dan dimoderatori Pemimpin Redaksi Republika, Irfan Junaidi. Dialog berlangsung di Auditorium Prof Abdulkahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII.
Bagi Musa, bukan persoalan imaji, tapi persoalan realitas. Jika realitas masih seperti ini, maka perundangan atau peraturan apapun akan memunculkan masalah. Padahal, ada sila kemanusiaan yang adil dan beradab yang bisa menjadi ukuran.
"Kita tidak boleh menyusun imaji Indonesia 2045 yang anti realitas, dan ini yang perlu didiskusikan lebih jauh, bagaimana realitas manusia Indonesia sebenarnya, apakah masih manusia yang utuh atau manusia yang dibangun demokrasi kapital," ujar Musa.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, dalam demokrasi setiap orang memiliki hak aspirasi. Tapi, ada saluran tatanan untuk menyalurkan aspirasi itu. Sayangnya, hari ini ukuran kebebasan dan tatanan itu kerap kabur.
Ia menekankan, dalam mengelola konflik penting membangun budaya yang diperlukan. Indonesia yang sudah memiliki banyak lembaga demokrasi tinggal mengembangkan lagi budaya demokrasi. Termasuk, atas kehadiran saluran baru bernama media sosial.
Bahkan, Yahya melihat, media arus utama menjadikan trending topik sebagai dasar kebijakan redaksi. Padahal, ia berpendapat, ketika semua itu dituruti, seluruh tatanan jadi tidak berguna. Karenanya, penting membangun budaya yang diperlukan.
Misal, bidang hukum, ketika sedang ada proses yang berlangsung memang semua boleh bicara. Tapi, tidak boleh ada pengadilan di luar sistem, pengadilan publik atau pers. Selama belum ada putusan hukum, harus ditegakkan praduga tidak bersalah.
"Kalau tidak begitu, orang cenderung untuk main hakim sendiri, orang terdorong untuk main hakim sendiri," kata Yahya.
Yahya menekankan, untuk mewujudkan Indonesia emas tentu semua perlu berikhtiar. Setelah itu, kita berharap apa yang kita ikhtiarkan sesuai kehendak Allah SWT. Tentu, Yahya meyakini, semua ingin Indonesia yang lebih baik, yang lebih mulia.
Ia percaya, Indonesia tidak mungkin mencapai itu kecuali dengan memperjuangkan peradaban dunia yang lebih baik dan peradaban dunia yang lebih mulia. Tapi, jangan lupa, dalam ikhtiar itu kita harus senantiasa berserah kepada Allah SWT.
"Saya percaya Indonesia keramat, Indonesia dirahmati, Indonesia diberkahi Allah SWT. Sampai hari ini, Indonesia tidak pernah jatuh, tidak cuma sejak proklamasi, tapi sejak peradaban lebih awal, tidak mungkin kalau bukan berkah Allah SWT," ujar Yahya.