REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China menolak mencampuri keputusan junta Myanmar mengeksekusi mati empat aktivis demokrasi di negara tersebut. Beijing menyebut, ia memegang prinsip nonintervensi dalam urusan negara lain.
“Saya sudah menjelaskan posisi China tentang masalah ini kemarin. China selalu menganut prinsip nonintervensi dalam urusan domestik negara lain,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China Zhao Lijian saat menjawab pertanyaan apakah Beijing akan menggunakan pengaruhnya terhadap Myanmar pasca adanya eksekusi mati terhadap empat aktivis demokrasi di negara tersebut, Selasa (26/7/2022), dikutip laman resmi Kemenlu China.
Kendati demikian, Zhao mendorong agar para pihak di Myanmar untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka sesuai dengan kerangka hukum. “Kami selalu menjaga agar semua pihak dan faksi di Myanmar harus menangani perbedaan serta ketidaksepakatan mereka dengan baik dalam kerangka konstitusi dan undang-undang dengan memperhatikan kepentingan jangka panjang negara dan bangsa,” ucapnya.
Pada Senin (25/7/2022) lalu, junta Myanmar mengumumkan bahwa mereka telah mengeksekusi mati empat aktivis demokrasi di negara tersebut. Mereka dituduh terlibat dalam kegiatan terorisme. Itu menjadi eksekusi perdana yang dilakukan Negeri Seribu Pagoda dalam lima dekade.
Kamboja, selaku ketua ASEAN saat ini, menyayangkan eksekusi tersebut. Keputusan junta Myanmar dianggap sebagai jalan mundur dan melemahkan upaya perdamaian yang didorong ASEAN di negara tersebut.
Dalam sebuah pernyataan bersama, Uni Eropa, Australia, Kanada, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), mengecam eksekusi mati empat aktivis demokrasi di Myanmar. Mereka menganggap junta kembali menunjukkan pengabaian terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum. Washington pun mendesak China untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Myanmar.
China memang memiliki hubungan dekat dengan junta Myanmar. Selama ini, Beijing pun tak pernah melayangkan kritik atau kecaman terhadap junta, termasuk ketika mereka menumpas gelombang unjuk rasa menentang kudeta militer pada Februari tahun lalu.