REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS — Al-Rukban sebuah kamp pengungsi berpenduduk sekitar 11 ribu orang di tanah tak bertuan antara Suriah dan Yordania. Menurut penduduk setempat, Al-Rukban menderita gelombang panas dan kekurangan air.
Ahmad, seorang warga al-Rukban yang menggunakan nama samaran untuk alasan keamanan, mengatakan kepada The New Arab bahwa kualitas dan kuantitas air yang dipasok ke kamp mulai menurun sejak dua bulan lalu.
"Air bahkan tidak cukup untuk sepertiga kamp. Pertempuran senjata telah dimulai lebih dari sekali antara orang-orang yang mencoba mendapatkan air," kata Ahmad dilansir dari Alaraby, Selasa (26/7/2022).
Dia menambahkan bahwa putranya telah tidur di sebelah pipa yang mengalirkan air ke kamp selama beberapa hari terakhir sehingga dia dapat memastikan bahwa dia hadir ketika air mulai mengalir lagi.
Kekurangan air terjadi karena wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara mengalami peningkatan suhu musim panas. Al-Rukban terletak di gurun tandus dan tidak memiliki perumahan yang layak atau akses listrik yang luas.
Al-Rukban menerima airnya dari sumur yang dioperasikan oleh UNICEF di sisi perbatasan Yordania.
Sejak 2018, Yordania tidak mengizinkan bantuan apa pun untuk diangkut ke kamp dari wilayahnya, dengan pengecualian satu-satunya air yang disalurkan UNICEF.
"Waktu pemompaan pipa berkurang dari enam menjadi dua jam per hari, menyebabkan kekurangan saat ini," ujar Simone Jeger, seorang kemanusiaan independen yang berfokus pada al-Rukban.
Kekurangan air telah membahayakan proyek pertanian kamp. Banyak penduduk memelihara petak-petak pertanian kecil di dekat rumah mereka untuk menanam makanan seperti mentimun, terong dan tomat untuk penghidupan.
Kelaparan adalah masalah yang konsisten di kamp, karena tentara rezim Suriah mencegah barang memasuki kamp dan Yordania menolak untuk mengizinkan bantuan masuk dari sisinya. Kamp itu belum menerima kiriman bantuan selama tiga tahun.
Kemanusiaan berpendapat bahwa Amerika Serikat, yang mengontrol daerah 55 km di mana al-Rukban duduk, harus membantu penduduk kamp sebagai kekuatan pengendali de-facto di daerah tersebut. Amerika Serikat, sebaliknya, berpendapat bahwa tanggung jawab terletak pada Damaskus.
Meskipun kondisi hidup yang buruk dan kurangnya perawatan medis, sebagian besar penghuni kamp menolak untuk pergi. Mereka takut bahwa mereka akan menghadapi penangkapan atau penyiksaan oleh pasukan rezim jika mereka kembali ke wilayah yang dikuasai rezim.
Asosiasi Suriah untuk Martabat Warga (SACD) telah mendokumentasikan setidaknya 174 penangkapan orang yang kembali dari al-Rukban ke wilayah yang dikuasai rezim.