REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo tengah melakukan lawatan ke China, Jepang, dan Korea Selatan sebagai upaya penguatan kerja sama ekonomi, utamanya investasi dengan Indonesia. Kunjungan tersebut pun dinilai cukup strategis, mengingat ketiga negara Asia itu kian menunjukkan kekuatan ekonomi di kancah dunia.
Peneliti Ekonomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Latif Adam, mengatakan, kunjungan Jokowi perlu dimaknai sebagai usaha pemerintah untuk mendongkrak perekonomian melalui perdagangan, investasi dan keuangan.
"Tapi, seringkali masalahnya ketika Presiden melakukan promosi dan bertemu langsung para investor, namun nyatanya ketika ditindaklanjuti masih disulitkan dengan masalah-masalah perizinan dan insentif," kata Latif kepada Republika.co.id, Rabu (27/7/2022).
Ia mengatakan, strageis atau tidak, kerja sama dengan ketiga negara itu tentu sangat berperan bagi Indonesia. Hanya saja, tindak lanjut dari kunjungan-kunjungan itu yang perlu dibenahi. Lebih jauh, seberapa baik langkah taktis yang disiapkan pemerintah untuk meningkatkan investasi.
Di sisi lain, Latif menggarisbawahi, Indonesia harus tegas dengan para mitra negara. Ketika ingin meningkatkan investasi seringkali itu diikuti dengan kenaikan impor yang tajam dan memperburuk neraca perdagangan. Bukan tidak mungkin, peningkatan impor malah terjadi pada barang konsumsi, bukan bahan baku atau barang modal yang digunakan industri.
"Perlu diarahkan jenis investasi yang diinginkan bukan hanya sekadar barang konsumsi saja, sehingga ketika investasi meningkat tidak memberikan dampak negatif pada neraca dagang," katanya.
Kasus serupa juga hampir sama dengan yang kerap kali menjadi perdebatan publik soal masuknya tenaga kerja asing asal China, misalnya. Menurut Latif, Indonesia memang tidak anti asing, namun sebaiknya TKA China ke depan lebih dikhususkan untuk jabatan-jabatan tertentu di level menengah ke atas. Sementara pekerja kelas buruh sebaiknya menggunakan tenaga kerja lokal setempat.
"Ini semua tergantung dari bagaimana kita menegosiasikannya, tapi kalau tidak dikemukakan sejak awal, tentu akan menjadi kebablasan," katanya.
Mengutip data terakhir Badan Pusat Statistik, Indonesia masih mencatatkan defisit atas neraca perdagangan dengan China. Sepanjang Juni 2022, total ekspor Indonesia ke China sebesar 5,09 miliar dolar AS sedangkan impor tembus 6,1 miliar dolar AS. Dengan kata lain, Indonesia defisit 1,01 miliar dolar AS.