REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia yang tengah menjadi Presidensi G20 diharapkan bisa mengajak para negara-negara anggota maupun dunia untuk mengurangi aksi proteksionisme terhadap produk pangan. Upaya itu perlu ditempuh mengingat situasi krisis pangan dunia yang juga telah dirasakan Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan, kesempatan Indonesia menjadi Presidensi G20 perlu dimanfaatkan dalam merespons isu-isu terkini, termasuk soal pangan yang menjadi perhatian dunia.
"Indonesia bisa memimpin untuk memperjuangkan agar proteksi pangan di beberapa negara dibuka. Ini harus menjadi rekomendasi dan kesepakatan bersama, saya kira ini penting," kata Tauhid dalam Gambir Trade Talk, Rabu (27/7/2022).
Tauhid mengatakan, negara berpendapatan rendah dan menengah menjadi korban utama atas situasi krisis pangan saat ini, termasuk Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga Juni 2022, sejumlah negara melakukan restriksi atau pelarangan ekspor terhadap sejumlah komoditas. Komoditas yang mengalami restriksti di antaranya gandum, gula, daging sapi, kedelai, hingga pupuk.
Saat ini, Indonesia pun menjadi salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Hingga 2021, total impor gandum Indonesia mencapai 11,4 juta ton, berdasarkan catatan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo). Sebanyak 9 juta ton digunakan untuk industri makanan, sisanya diserap oleh industri pakan unggas.
Indonesia juga masih mengimpor gula untuk kebutuhan industri dan sebagian kebutuhan konsumsi. Begitu pula daging sapi, kedelai, hingga bahan baku pupuk.
Kendati demikian, Tauhid mencatat, sejauh ini inflasi pangan Indonesia hingga bulan Juni masih di level 5 persen. Level itu dalam tataran global masih pada tingkatan menengah.
"Saat ini memang harga relatif meningkat, tapi ke depan kami melihat 2022-2023 akan cenderung turun harganya," ujarnya.