REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Dua aktivis pemimpin aksi protes massa yang menggulingkan presiden Sri Lanka ditangkap pada Rabu (27/7/2022) waktu setempat. Penangkapan ini terjadi ketika parlemen memperpanjang masa keadaan darurat guna memulihkan ketertiban negara dari protes massa.
Mantan presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri ketika puluhan ribu pengunjuk rasa menyerbu kediamannya di ibu kota Kolombo. Para pengunjuk rasa marah dengan krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara pulau itu.
Ia kemudian terbang ke Maladewa, kemudian Singapura dan mengajukan pengunduran dirinya. Sementara penggantinya, Ranil Wickremesinghe menyatakan keadaan darurat dan bersumpah akan bertindak keras terhadap para pembuat onar.
Seperti dilansir laman Channel News Asia, Kamis (28/7/2022), polisi mengatakan, bahwa pihaknya telah menangkap aktivis Kusal Sandaruwan dan Weranga Pushpika atas tuduhan pergerakan massa yang melanggar hukum. Setelah Rajapaksa melarikan diri, Sandaruwan terlihat dalam rekaman media sosial menghitung sejumlah besar uang kertas yang ditemukan di rumah presiden.
Polisi juga telah merilis foto-foto 14 tersangka yang dicari sehubungan dengan serangan pembakaran di rumah Wickremesinghe pada hari yang sama kantor dan kediaman presiden diserbu. Penangkapan kedua aktivis itu terjadi sehari setelah pemimpin mahasiswa Dhaniz Ali ditangkap ketika dia menaiki penerbangan menuju Dubai di bandara utama negara itu pada malam hari.
Polisi mengatakan ada surat perintah penangkapannya sehubungan dengan kasus pengadilan hakim, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Anggota parlemen juga memilih Rabu untuk meresmikan keadaan darurat yang diberlakukan oleh Wickremesinghe hingga pertengahan Agustus.
Status darurat, yang memberdayakan pasukan untuk menangkap dan menahan tersangka untuk waktu yang lama, akan berakhir pada Rabu jika tidak diratifikasi oleh parlemen. Polisi pekan lalu menghancurkan kamp protes anti-pemerintah utama di ibu kota dalam serangan sebelum fajar yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan diplomat asing dan kelompok hak asasi manusia.
Kemarahan publik tersulut selama berbulan-bulan di Sri Lanka sebelum demonstrasi besar-besaran pada 9 Juli yang mengakhiri kekuasaan Rajapaksa. Rajapaksa telah disalahkan karena salah mengelola keuangan negara dan mengarahkan ekonomi ke dalam kejatuhan setelah negara itu kehabisan mata uang asing yang dibutuhkan untuk mengimpor barang-barang vital.
Sebanyak 22 juta orang Sri Lanka telah mengalami pemadaman listrik berbulan-bulan yang panjang, rekor inflasi dan kekurangan makanan, bahan bakar dan bensin. Para pengunjuk rasa juga menuntut pengunduran diri Wickremesinghe dan menuduhnya melindungi klan Rajapaksa, yang telah mendominasi politik Sri Lanka selama dua dekade terakhir.