REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memproyeksi laju inflasi tahun ini bisa mencapai kisaran 3,5 sampai 4,5 persen. Hal ini sebagai respons atas tingginya harga komoditas global yang merembet ke banyak aspek, dan masih akan berlanjut hingga semester II 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dampak tekanan eksternal mulai terasa di Indonesia pada akhir kuartal II 2022 dan masih akan berlanjut, sehingga inflasi berisiko berada di atas rentang sasaran awal. Adapun perkiraan laju inflasi 2022, dari semula tiga plus minus satu persen atau dua sampai empat persen.
"Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, laju inflasi pada 2022 diperkirakan mencapai kisaran 3,5 sampai 4,5 persen,” ujarnya tertulis dalam Laporan Pelaksanaan APBN Semester I 2022, Kamis (28/7/2022).
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan pihaknya mengerek outlook inflasi 2022 lebih tinggi dari target awal. Hal tersebut berkaitan dengan kenaikan harga secara global, terutama energi dan pangan.
"Kenaikan ini sudah berpotensi meningkatkan harga komoditas di dalam negeri. Peningkatan outlook inflasi adalah strategi dan arahan dari kebijakan pemerintah bersama DPR," ucapnya.
Menurut dia, faktor risiko musim kemarau basah dapat mendorong kenaikan harga pangan domestik, terutama dalam produk-produk hortikultura. Adapun faktor itu bersama dengan gejolak global, semakin menambah risiko kenaikan harga yang nantinya dapat berimbas kepada konsumsi masyarakat.
Febrio menyebut, pemerintah mengandalkan subsidi dan kompensasi untuk menjaga harga, sehingga tidak akan mengganggu permintaan domestik. Selain itu, pemerintah pun melakukan pengelolaan ekspektasi inflasi masyarakat dan menjaga nilai tukar rupiah.
"APBN diarahkan sebagai shock absorber terhadap risiko eksternal untuk menjaga daya beli masyarakat," katanya.
Ke depan lanjut Febrio pemerintah akan terus mewaspadai perkembangan harga terkini dan menstabilkan harga pangan agar tidak langsung berdampak kepada masyarakat atau konsumen. Di tengah ketidakpastian global, instrumen APBN juga tetap digunakan sebagai bantalan untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
"APBN berperan sebagai shock absorber, kita ingin menjaga daya beli masyarakat dan sekaligus memastikan momentum pemulihan ekonomi terus terjaga. Dalam konteks ini untuk menjaga daya beli tercermin dari angka inflasi yang relatif terjaga dibandingkan banyak negara lain," ucapnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi pada Juni 2022 sebesar 0,61 persen atau secara tahun kalender sebesar 3,19 persen. Adapun secara tahunan inflasi pada Juni 2022 sebesar 4,35 persen atau lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 sebesar 3,55 persen dan inflasi ini sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017.