Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sudah jamak diketahui bahwa niat berarti maksud dan kehendak.
"Saya berniat untuk sholat berarti saya bermaksud melakukan ibadah sholat." Sebagian kita menganggap bahwa berniat untuk sholat cukup dengan diam sejenak sebelum sholat lalu ‘pasang’ niat kemudian takbir.
Benarkah masalah niat sesederhana itu? Apakah niat bisa diwujudkan dengan cara ‘merenung’ sejenak, lalu menghadirkan jenis ibadah yang ingin dilakukan (terlepas dari perbedaan boleh tidaknya melafazkan niat), kemudian langsung action?
Bisakah seseorang yang sedang kenyang mengatakan: “Saya berniat untuk punya selera makan”? Bisakah seorang yang sangat lapar mengatakan: “Saya berniat makan untuk ibadah”? Bisakah seorang suami yang tak bertemu dengan isterinya lebih sebulan, lalu ketika bertemu dan ingin berhubungan ia berkata: “Saya berniat melakukan ini untuk mendapatkan keturunan yang saleh”?
Dengan kata lain, bisakah niat itu ‘dihadirkan’ secara paksa? Tidak mudah menjelaskan hal ini, apalagi memahamkannya pada orang lain. Poinnya, kita mesti menyadari bahwa perkara niat tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Dalam konteks ini kita baru bisa mulai memahami mengapa Imam Sufyan ats-Tsauri saat mengetahui putranya wafat, ia hanya berucap : innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ketika ditanya: “Mengapa engkau tidak menyaksikan pemakamannya?” Ia menjawab singkat:
لَمْ تَحْضُرْنِي النِّيَّةُ “Niat tidak hadir.”
Di sinilah perlunya kita mengkaji kembali hal-hal yang terlihat jelas dan mudah, padahal sesungguhnya menyimpan bahasan yang tidak ringan. Kita mengira sudah melakukan sesuatu dengan benar, ternyata banyak kekeliruan yang terjadi tanpa disadari.
Sangat menarik dan bermanfaat sekali menelaah apa yang ditulis Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin khususnya dalam Bab al-Ghurur. Bab ini sangat penting dikaji dan didalami.
Terutama mereka yang dipandang sebagai ulama dan para pecinta ilmu. Demikian juga ahli ibadah dan semua yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt, dimana semua itu mesti dimulai dengan niat yang benar dan bersih.
Di salah satu bagian dalam Bab ini, Imam al-Ghazali rahimahullah menukil dari Abu Nashr at-Tammar.
Seorang laki-laki datang menemui Bisyr bin al-Harits. Ia berkata: “Saya mau pergi haji. Apakah ada pesan untuk saya? Bisyr berkata: “Berapa banyak yang engkau siapkan untuk bekal?”
“Dua ribu dirham,” jawab laki-laki itu. “Apa yang engkau inginkan dari ibadah haji ini?” Tanya Bisyr. “Ingin ridha Allah,” kata laki-laki tadi.
“Kalau seandainya engkau bisa mendapat ridha Allah tapi engkau tetap di rumah dan menginfakkan uang dua ribu dirham itu dan engkau yakin beroleh ridha Allah, apakah engkau mau melakukannya?” tanya Bisyr
“Mau," jawab laki-laki.