REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dr Abdul Halim Uwais dalam buku Dirasatu Lisuquti Tsalatsina Daulah Islamiyah (1982) mengingatkan khalayak Muslim untuk mengambil ibrah dari peristiwa jatuhnya Andalusia.
Bagaimana riwayat peradaban Islam di Semenanjung Iberia yang menyinari Eropa selama ratusan tahun tuntas dengan begitu keras.
Umat Islam bukan hanya terusir dari negerinya sendiri, melainkan juga dipaksa berpindah keyakinan. Tentunya, dalam kehidupan ini siklus bangun-jatuh selalu terjadi.
Seperti kata pepatah, hidup bagaikan roda yang berputar. Bagaimanapun, sejarah juga menca tat bahwa di antara faktor-faktor yang melemahkan umat Islam Andalusia adalah perpecahan di internal kaum Muslimin sendiri.
Abdul Halim mengibaratkan kemajuan Andalusia pada masa keemasan sebagai akumulasi nikmat dari Allah SWT. Kaum Muslimin kala itu ditopang keimanan, ketakwaan, serta keeratan silaturahim.
Di samping itu, semangat amar makruf nahi mungkar juga masih kuat dan terjaga. Maka jadilah Andalusia sebuah darussalam, negeri yang makmur sentosa.
Pada pengujung abad ke-13, wujudnya berangsur-angsur menjadi darul bawaar atau negeri kebinasaan. Kelompok non-Muslim yang ekstrem memaksakan kehendaknya pada umat yang tinggal di taifa-taifa taklukan.
Hanya Granada yang tetap bertahan selama kira-kira 200 tahun. Akan tetapi, keadaannya bagaikan gabus yang terapung-apung di tengah gelombang pasang, dikeliling karang-karang terjal.
Di satu sisi, emirat tersebut mampu menggantikan peranan taifa-taifa lain yang sudah tumbang terlebih dahulu. Jika Kordoba melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Bajah, Granada memunculkan pula para ahli ilmu. Sebut saja, Ibnu Zamrak (sastra), Ibnu Huzail Hakim (filsafat), dan Abu Ishak asy Satibi, penulis Al Muwafaqat, tulis Wawang F Ratnawulan dalam Granada, Benteng Terakhir Umat Islam Andalusia.
Adapun yang tersisa dari kejayaan Islam di Andalusia, termasuk Granada, adalah peninggalan fisik, seperti seni arsitektur. Itu pun dengan catatan, tidak sedikit bangunan masjid yang berubah fungsi menjadi gereja. Di kota itu terdapat Istana Alhamra, jejak kekuasaan Bani Nashr yang tampak anggun, seperti imun dari terjangan waktu.
Bangunan yang secara harfiah berarti merah itu menjadi saksi bisu atas tumbuh dan runtuhnya daulah kekhalifahan di Eropa. Keberadaannya menyiratkan secercah optimisme: mungkinkah Islam kembali berjaya di Benua Biru?