REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna mengakui, di tengah gencarnya upaya penekanan kasus stunting, Pemerintah Kota Bandng masih belum maksimal dalam menjamin pemenuhan gizi ibu hamil, yang menjadi indikator penentu kemampuan Kota Bandung dalam memerangi stunting. Menurutnya, masih banyak sektor yang memerlukan perbaikan dan pengoptimalan demi menjaga kualitas kesehatan ibu hamil.
"Karena di saat ibu hamil ini terganggu kesehatannya atau asupan gizinya tidak maksimal, maka akan membawa dampak buruk bagi bayi," kata Ema dalam Rempuk Stunting Kota Bandung yang dilaksanakan di Hotel Grandia, Jumat (29/7/2022).
Menurutnya, terdapat setidaknya empat sektor yang harus berkolaborasi untuk memfasilitasi pemenuhan gizi ibu hamil, yaitu pengadaan infrastuktur yang mendukung, lingkungan hidup yang sehat dan berkualitas, peningkatan dan pemerataan ekonomi dan tentunya pengoptimalan layanan kesehatan. Dia juga meminta seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mempelajari dan memahami peran masing-masing dalam program bersama penurunan stunting.
"Untuk penjaminan kualitas infrastruktur, disana ada 14 program, ada 87 kegiatan. Kemudian ada lingkungan hidup yang berkualitas, ada 11 program, ada 28 kegiatan kemudian ada peningkatan dan pemerataan ekonomi ada 25 program, 91 kegiatan. Kemudian ada kualitas derajat kesehatan dengan 3 program dan 37 kegiatan. dan juga pembentukan masyarakat yang humanis sehingga nanti perilaku yang peduli, perilaku atensi dan lain sebagainya ada 26. Total program ada 146 kegiatan," papar Ema.
Persoalan sanitasi, kata dia, juga menjadi problematika yang perlu segera ditangani. Karena buruknya keadaan dan sarana sanitasi tentu dapat berimbas pada kualitas kehidupan ibu hamil maupun bayi yang akan lahir. Ini, sambung dia, tentu menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi Pemerintah Kota Bandung untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan layak bagi masyarakat, khususnya ibu hamil yang menjadi penentu kualitas generasi muda di masa depan.
"PR nya adalah bagaimana perbaikan penyediaan sanitasi dan kelayakan aspek kehidupan dan lingkungan hidup di Kota Bandung masih sangat banyak yang perlu ditingkatkan, supaya keberlangsungan hidup yang ideal bisa setahap demi setahap dapat direalisasikan dan ini akan terus menjadi perhatian kita semua," ujarnya.
Di antara semua OPD yang terkait, kesehatan menjadi leading sector yang sangat perlu diprioritaskan, salah satunya pengoptimalisasian layanan, infrastuktur, sarana dan prasarana posyandu dan puskesmas. \"Saya pikir ini sangat beririsan untuk memberikan daya dorong penurunan angka stunting, karena jika infrastruktur memadai, ekonomi juga baik, maka masyarakat level bawah juga memiliki daya beli yang lebih baik, dan jika sudah memiliki daya beli yang tinggi maka mereka bisa memenuhi seluruh kepentingan pokok mereka khususnya makanan, sehingga pemenuhan gizi juga akan lebih terjamin, karena jika orang tua memiliki daya kemampuan pemenuhan ekonomi maka mereka juga mampu menciptakan generasi muda yang sehat," sambungnya.
Saat ini Kota Bandung memiliki sekitar 7,59 persen balita atau setara dengan 7658 balita yang mengalami kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis tersebut. Kendati demikian, berdasarkan hasil analisis situasi pada aksi 1 konvergensi stunting tahun 2022, diketahui presentase stunting di Kota Bandung menurun 1,34 persen atau sebanyak 1.999 balita di Kota Bandung dari tahun 2020 ke tahun 2021.
Sebelumnya, Kepala Bidang Pengendalian, Data dan Evaluasi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Dinas Sosial Kota Bandung, Susatyo Triwilopo mengakui hingga saat ini Dinsos Kota Bandung tidak memiliki anggaran khusus untuk program stunting. Dia juga mengatakan tidak ada perbedaan atau keistimewaan jenis bantuan bagi ibu hamil maupun ibu yang memiliki batita maupun balita.“(Bantuan) Yang langsung gak ada, karena itu tugasnya dari dinas kesehatan. Kita kan supportnya dari sasaran perantaranya saja, misalnya ibunya cukup makan dari program sembako atau dari PKH (program keluarga harapan),” kata dia.
“Untuk ibu hamil pun sama (bantuannya), karena kan sekarang bantuannya uang ya, uang Rp 200 ribu mah pengecualian. PKH kan tergantung apa yang ada, anak sekolah SD berapa bantuannya, SMP berapa bantuannya, dan itu lebih ke arah keperluan perlengkapan sekolahnya sama operasional sekolahnya, bukan soal pemenuhan gizi,” sambungnya.Dia mengatakan, sejauh ini, bantuan sosial yang disalurkan Dinsos juga hampir seluruhnya masih bersumber dari program pemerintah pusat, Kementerian Sosial. Hal ini tak lain karena kendala keterbatasan dana dari APBD. “Masalahnya selama ini bantuan dari pusat, daerah boleh dalam bentuk hibah atau bansos, tapi lagi-lagi balik ke kemampuan anggaran kita, dan itu tidak cukup,” tuturnya.