Cerita Saksi Klitih, Target Kedua Hingga Dikejar Celurit
Rep: Gracia Primaningrum/ Red: Partner
. | Foto: network /Gracia Primaningrum
Yogyakarta sering mendapatkan julukan sebagai Kota Pelajar yang bersahabat. Julukan itu membuat banyak pelajar dan mahasiswa dari banyak daerah di Indonesia kepincut untuk datang untuk menimba ilmu di Kota Gudeg ini. Bahkan, tak sedikit pula mahasiswa dari berbagai negara tertarik untuk melanjutkan studi di kota ini.
Mekipun demikian, julukan Kota Pelajar ternyata tak membuat keselamatan pelajar yang ada di dalamnya serta-merta terjamin. Pasalnya, terdapat kegiatan yang menghantui masyarakat lokal dan membuat pendatang resah, yakni klitih. Kegiatan yang dulunya identik dengan berkeliling kota mencari udara segar kini berubah menjadi salah satu jenis kriminalitas yang mengerikan.
Klitih mulai ramai diperbincangkan lagi setelah kegiatan ini mulai memakan banyak korban pada sekitar bulan Maret 2022 lalu. Puncaknya adalah saat anak anggota DPRD DIY menjadi korban pada bulan Mei 2022 kemarin.
Setelah berita klitih kembali muncul dan menjadi perbincangan hangat di media ssial, akhirnya Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan HB X pun angkat bicara mengenai klitih. Aksi kriminal itu pun mulai dibanjiri kritikan dari masyarakat.
Banyak opini di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa pelaku klitih tidak memiliki motif yang kuat dalam melakukan aksinya. Korbannya pun sering acak dan tidak jelas.
Hal ini membuat perasaan takut dan waswas Andre Eka (18 tahun), siswa SMK Perindustrian Yogyakarta yang pernah nyaris menjadi korban klitih. “Saya merasa trauma kurang lebih setahun dan tidak mau keluar jarak jauh pada malam hari," katanya bercerita.
Waktu itu, di sekitar Jalan Sisimangaraja Kota Yogyakarta sekitar pukul dua pagi, ia bersama seorang teman berniat membeli rokok. Tiba-tiba ia melihat rombongan motor yang sudah menargetkan seorang remaja pengendara motor.
Akan tetapi remaja itu berhasil kabur. Alih-alih langsung pergi, rombongan itu justru mengincar dirinya dan temannya sebagai target berikutnya.
"Untungnya, saya dan teman saya langsung belok ke angkringan terdekat sehingga tidak terkena hantaman dari pelaku," ujar Andre saat diwawancarai di kediamannya.
Saksi klitih lainnya, Alif, menceritakan kejadian yang ia alami saat perjalanan menjemput temannya di terminal Giwangan. Saat kejadian, sekitar pukul tiga dini hari, ia sedang dalam perjalanan menjemput temannya tersebut. Alif pada awalnya merasa aman, karena ia melihat daerah Tugu, Malioboro, dan lain-lain masih ramai walaupun sudah larut malam.
“Waktu itu saya mengira ketika keluar malam di Jogja itu aman, karena melihat daerah Tugu, Malioboro, dan lain-lain itu masih ramai walaupun sudah tengah malam. Tetapi pada malam itu ternyata daerah yang saya tujui itu sepi. Saya merasa ada yang ngikutin dari belakang," kata mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.
Ia melihat dari kaca spion ternyata memang dirinya diikuti oleh beberapa orang berbadan kurus (para pelaku klitih rata-rata berstatus pelajar SMP/SMA/Sederajat-Red).
"Setiap kali saya berhenti di Lampu merah, mereka juga ikut berhenti tetapi jaraknya jauh dari saya. Lalu setelah beberapa lampu merah saya lewati, tiba-tiba mereka mengeluarkan celurit dan langsung mengejar saya dengan cepat," katanya.
Dua kejadian yang dialami para saksi klitih di atas itu menandakan Yogyakarta masih jauh dari gambaran ideal sebagai kota yang berhati nyaman dan aman. Pemerintah daerah setempat tampaknya masih perlu bekerja keras agar wilayah Yogyakarta bisa terbebas dari klitih.