Senin 01 Aug 2022 11:16 WIB

Pertemuan Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir Digelar

Perang Rusia di Ukraina memicu kembali ketakutan konfrontasi nuklir.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Sisa senjata nuklir Ukraina di Museum (ilustrasi)
Foto: BBC
Sisa senjata nuklir Ukraina di Museum (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Terdapat banyak masalah yang perlu dibahas dalam pertemuan yang menandai Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir yang harusnya digelar pada tahun 2020. Kini pertemuan yang tertunda pandemi itu akhirnya digelar Senin (1/8/2022).

Perang Rusia di Ukraina memicu kembali ketakutan konfrontasi nuklir. Konflik tersebut mendorong urgensi untuk memperkuat perjanjian yang sudah berusia 50 tahun itu.

Baca Juga

"Ini masa yang sangat, sangat sulit," kata direktur eksekutif International Campaign to Abolish Nuclear Weapons Beatrice Fihn, Ahad (31/7/2022) kemarin.

Ia mengatakan invasi Rusia yang disertai referensi mengerikan senjata nuklir "sangat signifikan bagi perjanjian" dan memberi banyak tekanan pada konflik. "Bagaimana reaksi pemerintah pada situasi akan membentuk kebijakan nuklir di masa depan," katanya.

Pertemuan selama empat pekan bertujuan menghasilkan konsensus langkah selanjutnya. Tapi ekspektasi pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan cukup rendah.

Namun Presiden Swiss Ignazio Cassis, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama termasuk peserta yang hadir dalam pertemuan ini. Seorang pejabat PBB yang tidak disebutkan namanya mengatakan diperkirakan akan ada 116 negara yang akan mengirimkan perwakilannya.

Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir yang diberlakukan pada tahun 1970 merupakan perjanjian senjata paling banyak anggotanya. Sebanyak 191 negara bergabung dalam perjanjian ini.

Negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir berjanji untuk tidak memilikinya sementara negara dengan senjata nuklir seperti Inggris, China, Prancis, Rusia (Uni Soviet), dan Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menegosiasikan untuk menyingkirkan senjata mereka suatu saat nanti. Semua negara memiliki hak mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.

India dan Pakistan yang tidak bergabung mengembangkan senjata nuklir. Begitu pula dengan Korea Utara yang sempat meratifikasi pakta tersebut tapi kemudian mundur. Israel yang tidak menandatangani perjanjian itu diduga memiliki senjata nuklir tapi mereka tidak membantah atau mengakuinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement