Senin 01 Aug 2022 18:26 WIB

Inflasi 2022 Diproyeksi Tembus 5 Persen, Kemiskinan Rawan Meningkat

Inflasi yang tinggi secara langsung dapat berdampak pada pendapatan riil masyarakat.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pedagang menjual sayuran di pasar tradisional di Banda Aceh, Indonesia, 21 Juli 2022. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Juli 2022, inflasi tahunan sudah tembus 4,94 persen atau di atas proyeksi terbaru pemerintah sebesar 4,5 persen.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Pedagang menjual sayuran di pasar tradisional di Banda Aceh, Indonesia, 21 Juli 2022. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Juli 2022, inflasi tahunan sudah tembus 4,94 persen atau di atas proyeksi terbaru pemerintah sebesar 4,5 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah tren kenaikan harga-harga bahan pokok, laju inflasi tahunan 2022 diproyeksi bisa mencapai lebih dari 5 persen. Seiring dengan tren peningkatan inflasi, angka kemiskinan rawan mengalami peningkatan.

"Kenaikan inflasi sangat bisa (menaikkan kemiskinan) karena struktur pengeluaran kelompok masyarakat bawah, pengeluaran makanannya lebih besar terhadap total pengeluaran," kata Direktur Eksekutif, Center of Reform on Economics Indonesia, Mohamad Faisal, kepada Republika.co.id, Senin (1/8/2022).

Baca Juga

Faisal mengatakan, peningkatan inflasi yang tinggi secara langsung dapat berdampak pada pendapatan riil masyarakat. Karena itu, efek negatif terhadap kemiskinan memiliki potensi besar.

Ia pun memperkirakan, laju inflasi tahunan tahun 2022 dapat mencapai lebih dari 5 persen year on year (yoy). Pasalnya hingga Juli 2022, inflasi tahunan sudah tembus 4,94 persen atau di atas proyeksi terbaru pemerintah sebesar 4,5 persen.

Menurut Faisal, inflasi di kisaran 5 persen pun dengan catatan, pemerintah mempertahankan kebijakan subsidi energi. Kebijakan subsidi akan menahan laju kenaikan harga bahan bakar sehingga harga yang diterima masyarakat tak melonjak.

Adapun, sampai dengan Juli 2022, ia menilai, kenaikan inflasi lebih disebabkan oleh faktor suplai. Naiknya harga-harga pangan pokok yang memicu inflasi dipicu oleh faktor cuaca yang menekan angka produksi.

Di sisi lain, juga terpengaruh oleh imported inflation, untuk harga energi dan pangan. Inflasi ini terjadi imbas mobilitas masyarakat global yang semakin meningkat seiring dengan terkendalinya penyebaran Covid-19.

"Jadi yang saya lihat di bulan Juli ini, permintaan itu masih lemah, sehingga yang mempengaruhi inflasi lebih banyak dari sisi suplai," katanya.

Sementara itu, Deputi Kemenko Perekoomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, pemerintah telah mengantisipasi kenaikan inflasi agar tak berdampak pada kenaikan angka kemiskinan.

Salah satu antisipasi yang ditempuh dengan menahan kenaikan harga BBM yang dikonsumsi oleh 40 persen masyarakat kelompok bawah. Pemerintah juga masih menjalankan program bantuan sosial melalui APBN dan anggaran PEN.

Di sisi lain, ia menuturkan, pemerintah juga fokus dalam mengendalikan harga pangan melalui operasi-operasi pasar. Upaya penambahan stok terus dilakukan dengan menambah areal penanaman termasuk melalui food estate.

"Juga memperlancar distribusi barang melalui kerja sama antar daerah yang kelebihan pasokan dengan daerah kekurangan pasokan," katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement