REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan penetapan tersangka korupsi, dan pencucian uang (TPPU) terhadap bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, Senin (1/8). Penetapan tersangka tersebut, terkait dengan penyerobotan, dan penguasaan lahan hutan seluas 37.095 hektare di Indragiri Hulu, Riau.
Total kerugian negara dalam kasus tersebut, mencapai Rp 78 triliun. Angka kerugian negara tersebut, mencatatkan rekor baru penanganan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum.
“Estimasi penghitungan kerugian negara, atas perbutan korupsi, berupa penyerobotan, dan penguasaan lahan hutan oleh PT Duta Palma Group tersebut, mencapai (Rp) 78 triliun,” kata Burhanuddin, dalam keterangan resmi yang diterima wartawan di Jakarta Senin (1/8). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi menerangkan, nilai kerugian setotal Rp 78 triliun itu terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama, estimasi kerugian keuangan negara berkisar antara Rp 9 sampai 10 triliun. Sedangkan kedua, estimasi kerugian perekonomian negara, sekitar Rp 68 triliun.
“Jadi (Rp) 78 T (triliun) itu bukan hanya kerugian keuangan negaranya saja. Juga ada estimasi penghitungan kerugian perekonomian negara akibat penguasaan lahan hutan dengan cara melawan hukum oleh PT Duta Palma Group dan anak perusahaannya itu,” ujar Supardi, Senin (1/8) malam.
Nilai kerugian keuangan, dan perekonomian negara setotal Rp 78 triliun dalam kasus Duta Palma ini, memecahkan rekor angka jebolnya potensi pendapatan negara akibat praktik dugaan korupsi. Sebelum ini, rekor penanganan kasus tindak pidana korupsi, juga dipegang oleh tim penyidikan Jampidsus-Kejakgung, dalam penanganan korupsi, dan pencucian uang dalam pengelolaan dana asuransi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) 2010-2019. Dalam kasus tersebut, angka kerugian negara terbukti di pengadilan mencapai Rp 22,78 triliun.
Baru-baru ini, tim penyidikan Jampidsus-Kejakgung, juga mengumumkan angka kerugian keuangan negara, dan kerugian perekonomian negara terkait korupsi persetujuan ekspor (PE) minyak mentah kelapa sawit (CPO) di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Nilai kerugian yang diumumkan mencapai Rp 20 triliun.
Dalam kasus tersebut, menyeret serta Dirjen Perdagangan Luar Negeri di Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana sebagai tersangka, bersama empat nama lainnya. Terkait kasus ini, tahap dua berkas perkara sudah dilakukan, dan tinggal menunggu ketetapan sidang dakwaan.
Sebelum penanganan kasus ASABRI, tim penyidikan di Jampidsus-Kejakgung, juga berhasil membuktikan korupsi, dalam pengelolaan dana asuransi di PT Asuransi Jiwasraya 2010-2018. Dalam kasus tersebut, juga terbukti di pengadilan, sampai level Mahkamah Agung (MA) 2020 terbukti merugikan keuangan negara mencapai Rp 16,8 triliun. Pada kasus tersebut, dua terdakwa, Heru Hidayat, dan Benny Tjokrosaputro dihukum penjara seumur hidup. Keduanya, juga terlibat dalam kasus serupa di PT ASABRI.
Di kasus lainnya, tim penyidikan Jampidsus-Kejakgung, juga saat ini sedang menangani kasus dugaan korupsi pengadaan, dan sewa pesawat di PT Garuda Indonesia, dengan nilai kerugian negara Rp 8,8 triliun. Dalam kasus ini, juga menyeret kembali narapidana Emirsyah Satar sebagai tersangka. Penyidikan kasus baru yang ditangani oleh Jampidsus-Kejakgung juga korupsi pembangunan blast furnance PT Krakatau Steel yang merugikan negara Rp 6,9 triliun. Lima orang mantan petinggi di perusahaan baja milik negara itu, ditetapkan tersangka, dan sudah didalam tahanan menunggu pembuktian di persidangan.
Pada kasus yang tak kalah besar kerugian negaranya, dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Dalam kasus tersebut, tim penyidikan di Jampidsus-Kejakgung mengumumkan angka kerugian negara mencapai Rp 2,6 triliun.
Dalam kasus tersebut, delapan orang ditetapkan sebagai tersangka, dan proses persidangannya masih berjalan untuk pembuktian. Penyidik Jampidsus-Kejakgung, baru-baru ini, juga menetapkan empat orang tersangka terkait korupsi pengadaan barang fiktif di PT Waskita Beton Precast, yang merugikan negara Rp 2,5 triliun.