REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengajak para seniman dan budayawan Muslim untuk berkontribusi nyata dan mengisi kekosongan dakwah, serta mengawal modernisasi dengan mengedepankan nilai-nilai universal Islam.
Hal ini disampaikan Zainut saat sambutan dalam acara Multaqa Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia dan Focus Group Discussion (FGD) Road to Kongres Budaya Islam Indonesia yang digelar Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam (LSBPI) Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Jakarta, Selasa (2/8/2022).
“Saya mengajak para seniman dan budayawan Muslim kontemporer agar semakin berperan dan memberi sumbangsih nyata untuk memperkuat sendi-sendi ketahanan nasional dari aspek ketahanan seni dan budaya.
Selain itu, mengisi kekosongan dakwah dan mengawal modernisasi dengan mengedepankan nilai-nilai universal Islam sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta,” ujar Zainut.
Selain itu, Zainut juga mengajak kepada para seniman dan budayawan Muslim untuk mengembangkan pemikiran kebudayaan secara kreatif dan produktif
“Mari terus mengembangkan berbagai fikiran budaya dan budaya berfikir secara kreatif dan produktif untuk Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Mari hidupkan ruh kebudayaan sebagai salah satu medium aktualisasi nilai-nilai beragama yang moderat dan inklusif,” ucap dia.
Zainut menjelaskan bahwa kebudayaan Indonesia saat ini dihadapkan pada pusaran arus globalisasi yang sangat dinamis dan multi dimensional. Kendati demikian, Indonesia tidak memerlukan revolusi kebudayaan, tapi membutuhkan strategi kebudayaan untuk bisa bertahan.
”Indonesia mungkin tidak memerlukan revolusi kebudayaan tapi membutuhkan strategi kebudayaan untuk bisa bertahan dengan identitas keagamaan dan keindonesiaan di tengah pusaran arus globalisasi yang sangat dinamis dan multidimensional," kata Zainut.
Menurut dia, Indonesia juga memiliki pengalaman sejarah berkenaan dengan seni dan budaya yang pernah menjadi alat propaganda ideologi yang bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha-Esa.
Dia menjelaskan tantangan saat itu dapat dijawab secara bijak dan persuasif oleh para seniman dan budayawan Muslim dengan membentuk wadah yaitu Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) yang digerakkan tokoh-tokoh seperti Buya Hamka, Bahrum Rangkuti, Junan Helmy Nasution, H Sudirman, dan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang dilahirkan tokoh-tokoh seniman Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani, dan kawan-kawan.
Sejarah mencatat HSBI yang berafiliasi ke Masyumi dan Muhammadiyah, dan LESBUMI berafiliasi ke NU, memiliki peran yang sangat penting di masa lalu, terutama dalam mengadvokasi politik seni dan budaya yang berpijak pada nilai-nilai agama sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
“Dalam konteks kekinian, sarana dan media seni-budaya generasi milenial tidak boleh kehilangan orientasi keindonesiaan sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya ketimuran dengan menjunjung tinggi norma-norma kesopanan,” jelasnya.
”Dalam pandangan hidup Muslim, tidak dapat dibenarkan liberalisasi seni dengan slogan “seni untuk seni”. Tetapi seni dan budaya sebagai karya cipta manusia tidak boleh dipisahkan dari tujuan hidup manusia sebagai hamba Allah SWT,” imbuhnya.
Seni dan budaya, lanjutnya, tidak boleh dijauhkan dari tujuan pembangunan manusia dan masyarakat yang bermoral, beragama, dan berkeadaban.
Di tengah arus budaya global dan teknologi informasi, umat Islam dan bangsa Indonesia harus memiliki ketahanan kultural dalam memilah dan memilih unsur-unsur budaya dari luar yang tidak bertentangan dengan pandangan hidup masyarakat.
“Ketahanan kultural paling kokoh adalah yang bersumber dari pandangan hidup, akidah dan way of life yang kita yakini, yaitu ajaran dan nilai-nilai agama. Jangan kita menjadi bangsa yang terombang-ambing dalam arus perubahan, menjadi bangsa yang rapuh dan kehilangan kepribadian di tengah pusaran budaya global,” jelas Zainut.
Mengutip mantan Menteri Agama Prof Mukti Ali, Zainut menyampaikan bahwa dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan seni hidup menjadi indah, dengan agama hidup menjadi bermakna.
Menurut Zainut, ungkapan ini membawa pesan filosofis dan ontologis yang mendalam bahwa para ilmuwan, seniman-budayawan dan agamawan perlu dan bahkan wajib bekerjasama dan saling mengisi untuk membangun dan memajukan peradaban kemanusiaan.