REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan perempuan warga Desa Pasar Seluma, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, memprotes keberadaan sebuah perusahaan tambang besi di wilayah pesisir pantai barat Sumatera itu. Sebab, sejak perusahaan itu beroperasi, penghasilan mereka dari laut menurun drastis.
Salah satu yang ikut memprotes keberadaan perusahaan tambang PT FBA itu adalah seorang ibu bernama Elda. Dia bersama ibu-ibu lainnya protes dan bermalam di lokasi tambang itu sejak 28 Juli 2022.
"Sekarang kami masih di lokasi tambang," kata Elda dalam diskusi daring yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Senin (1/8/2022).
Elda menyebut warga akan terus bertahan di sana sampai pihak Kementerian ESDM datang ke lokasi untuk mencabut izin tambang perusahaan. Dia menjelaskan, warga Desa Pasar Seluma menolak perusahaan tambang itu karena aktivitasnya merusak ekosistem laut, yang pada akhirnya membuat ikan maupun remis (kerang) berkurang. Padahal, warga setempat sangat bergantung pada hasil laut sebagai mata pencaharian utama.
"Kami warga Pasar Seluma setiap hari cari remis dan ikan. Kalau ada tambang, kami sangat resah karena itu mengurangi mata pencaharian kami. Bisa jadi gara-gara tambang ini remis-remis tidak ada lagi," ujarnya.
Menurut dia, populasi remis sudah mulai berkurang di sekitar pantai sejak perusahaan tambang itu beroperasi pada akhir 2021 lalu. Pengasihan warga pun menurun drastis. Dari biasanya bisa beroleh Rp 300 ribu dalam semalam dari tangkapan ikan maupun remis, kini turun menjadi Rp 100 ribu.
"Betul-betul besar efek tambang itu. Pokoknya sudah hancur lantai sekarang. Kami cuma minta tambang itu pergi dari desa kami," ujarnya.
Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritongga menjelaskan, PT FBA menambah pasir besi di area seluas 168 hektare. Luasan itu mencakup 2.400 meter garis pantai dengan 350 meter mengarah ke daratan, dan 300 meter menjorok ke laut.
Ibrahim mengatakan, PT FBA mulai beroperasi di sana pada November 2021. Lantas, pada Desember 2021, Walhi Bengkulu lantas melaporkan perusahaan itu ke Polda Bengkulu karena diduga tidak memiliki izin lengkap untuk beroperasi.
Sejak saat itu, polemik keberadaan perusahaan itu terus bergulir. Ibrahim bilang, pihak Pemkab Seluma sempat mengimbau perusahaan untuk berhenti berproduksi. Pada Juli 2022, pihak Pemprov Bengkulu juga melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi penambangan itu.
Dari hasil sidak itu, Gubernur Bengkulu mengeluarkan surat rekomendasi pencabutan izin perusahaan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Surat bertanggal 22 Juli itu pada intinya meminta Kementerian ESDM mengecek aktivitas PT FBA ke lokasi. Jika pihak kementerian menemukan pelanggaran, maka Gubernur Bengkulu bersedia mencabut izin perusahaan tersebut.
Tetapi, surat rekomendasi itu tak digubris pemerintah pusat. "Artinya, dari tanggal 22 Juli, kita melihat rekomendasi Gubernur Bengkulu tak direspons Kementerian ESDM. Padahal ini sudah cukup kuat bukti bahwa aktivitas perusahaan itu berdampak kepada masyarakat," ujar Ibrahim.
Karena itu, ujar Ibrahim, Walhi Bengkulu mendesak Kementerian ESDM untuk segera mencabut dan membekukan aktivitas PT FBA di Kabupaten Seluma, Bengkulu. "Karena kita menemukan banyak sekali pelanggaran oleh perusahaan, baik pelanggaran administrasi maupun kewajiban yang belum dipenuhi," ujarnya.