REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Industri garmen Bangladesh, menghadapi pukulan ganda akibat melambatnya permintaan global dan krisis energi di dalam negeri. Krisis ini mengancam upaya Bangladesh untuk bangkit dari pandemi Covid-19.
“Pengecer di pasar Eropa dan AS menunda pengiriman produk jadi atau menunda pesanan, karena inflasi melonjak di tujuan ekspor kami, itu berdampak serius pada kami," ujar Managing Director Plummy Fashions Ltd, Fazlul Hoque, dilansir Bloomberg, Rabu (3/8/2022).
Plummy Fashions merupakan pemasok PVH Corp, yaitu perusahaan induk merek fesyen Tommy Hilfiger, dan Zara dari Inditex SA. Pada Juli, pesanan mereka turun 20 persen dari tahun sebelumnya.
Industri garmen menyumbang lebih dari 10 persen dari produk domestik bruto Bangladesh, dan mempekerjakan 4,4 juta orang. Pihak berwenang menerapkan pemadaman listrik bergilir untuk menjaga cadangan bahan bakar di tengah krisis energi di seluruh kawasan. Krisis energi disebabkan oleh krisis Rusia-Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari.
"Pasokan energi yang tidak terputus adalah kunci untuk mengirimkan produk tepat waktu. Kami menghadapi kombinasi berbagai masalah di dalam dan luar negeri," kata Hoque.
Ketika krisis energi melanda, biaya operasional perusahaan garmen meningkat. Salah satu eksportir terkemuka yang memasok ke Gap Inc, dan H&M, Standard Group Ltd., bergantung pada generator setidaknya selama tiga jam sehari untuk menyalakan unit pencelupan dan pencucian di pusat manufaktur Gazipur di pinggiran Dhaka.
“Biaya listrik dari generator tiga kali lipat dari yang kami dapatkan dari jaringan nasional karena harga diesel mahal. Kami tidak dapat menutup unit pencelupan dan pencucian karena pemadaman listrik. Jika kita melakukannya, semua kain akan sia-sia," ujar CEO Standard Group, Atiqur Rahman.
Selain itu, kelemahan euro terhadap dolar telah mengikis daya tarik ekspor Bangladesh. Kepala Ekonom Global di Renaissance Capital, Charlie Robertson, mengatakan, jika tagihan energi di Eropa melonjak, maka orang harus mengurangi pengeluaran diskresioner, salah satunya pakaian.
"Pakaian adalah barang pilihan," kata Robertson.
Kekhawatiran pada industri garmen di Bangladesh, mengingatkan pada pesanan yang dibatalkan di awal pandemi. Ekspor pakaian turun ke level terendah dalam lima tahun terakhir sebesar 27,95 miliar dolar AS pada tahun fiskal hingga Juni 2020. Bangladesh melihat ekspor garmen naik sebesar 42,6 miliar dolar AS pada tahun fiskal yang berakhir Juni, terhitung 82 persen dari total ekspor.
Robertson mengatakan, krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka membuat ekspor garmen dari Pakistan menjadi jauh lebih murah. Hal ini menambah tekanan pada Bangladesh dan pasar ekspor utama seperti Eropa, yang akan membeli tekstil lebih sedikit.
Bangladesh telah mencari pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF), karena kenaikan harga minyak telah mengikis cadangan dolar. Cadangan devisa di Bangladesh merosot menjadi 39,79 miliar dolar AS per 13 Juli dari 45,33 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk menutupi impor selama sekitar empat bulan. Defisit perdagangan Bangladesh melebar ke rekor 33,3 miliar dolar AS pada tahun fiskal yang berakhir Juni.