Rabu 03 Aug 2022 19:51 WIB

Pemerintah Saran Cabut Pasal Penggelandangan, Unggas-Ternak Masuk Pekarangan dari RKUHP

Sejumlah isu masuk ke dalam 14 isu krusial RKUHP.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak mengkritik bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai cenderung overkriminalisasi. Menyikapi itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharief Hiariej mengatakan, bahwa sejumlah isu yang masuk ke dalam 14 isu krusial RKUHP seperti penggelandangan, unggas dan ternak yang masuk pekarangan, dan penganiayaan hewan akan dikeluarkan dari RKUHP.

"Memang ada beberapa hal overkriminalisasi yang kemarin juga presiden singgung, tapi kemarin di istana (dalam ratas) kami sepintas sekilas sudah mengatakan bahwa seperti penggelandangan, unggas, penganiayaan hewan memang itu sebaiknya di-take out," kata Eddy dalam diskusi daring bertajuk 'Mewujudkan KUHP Baru yang Mampu Menciptakan Keadilan' yang digelar oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Rabu (3/8/2022). 

Baca Juga

Eddy mengatakan, hal-hal tersebut diatur di dalam perda saja. Prinsipnya jangan sampai RKUHP terlalu banyak mengatur hal kecil sementara yang esensi malah tidak diatur.

"Termasuk belum diatur dalam KUHP juga soal fabrikasi evidence. Itu sangat mungkin pak, polisi kan dia ada mobil kemudian dia masukan barang bukti itu kan seharusnya kena pidana itu, itu tidak diatur, saya kira nanti perlu kita pikirkan suatu rumusan," terangnya. 

Sebelumnya, Elsam mengkritik bahwa RKUHP cenderung bersifat overkriminalisasi. Hal senada juga disampaikan Ketua DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Luhut Pangaribuan. Luhut menilai semakin banyak delik, semakin besar semangat hukum, maka keadilan akan sulit terwujud.

"Jadi overkriminalisasi, tidak melindungi proteksi HAM karena terlalu banyak pidana. Padahal kan yang kita kembangkan sekarang ini pidana itu sebagai last resort, sebagai ultimum remedium, bukan primum remedium, jadi kalau begini akan semakin banyak pidana yang akan menjadi beban," ucapnya.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani setuju jika dikatakan RKUHP bersifat overkriminalisasi. Namun di sisi lain, ada beberapa pandangan masyarakat yang ingin agar sejumlah tindakan hukum yang hidup di masyarakat (the living law) diatur di dalam RKUHP. 

"Contoh, ketika RKUHP masuk ruang privasi warga negara, yang terkait dengan delik-delik kesusilaan, pasal kohabitasi, kumpul kebo lah, perbuatan cabul yang diperluas pelakunya LGBT ini kita dikritik juga, padahal ada sebelah kelompok masyarakat Indonesia yang menuntut kami juga bahwa itu harus diatur, termasuk living law, kenapa, karena ini kita memang bikin KUHP yang bukan KUHP dengan alam pikiran atau budaya hukum negara eropa barat atau Belanda, ada moral value, ada local value, yang itu barangkali ada di Indonesia saja, ini harus kami imbangi," jelasnya. 

Untuk diketahui ada 14 isu krusial yang disepakati pemerintah dan DPR dalam RKUHP yang merupakan the living law atau hukum yang hidup di masyarakat, pidana mati, penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, pidana karena memiliki kekuatan gaib. 

Kemudian dokter gigi yang melaksanakan tugas tanpa izin, unggas dan ternak yang merusak pekarangan, dan contempt of court. Lalu, penodaan agama, penganiayaan hewan, penggelandangan, aborsi, perzinaan, kohabitasi dan perkosaan dalam perkawinan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement