REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta perusahaan swasta di provinsi yang angka prevalensi stunting-nya masih tinggi menyisihkan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk penanganan stunting. Muhadjir mengatakan, bantuan CSR swasta dibutuhkan untuk penanganan stunting di 12 provinsi yang masih tinggi.
"Ada instruksi dari pemerintah pusat dari presiden atau wapres atau lebih rendah agar menyisihkan CSR lebih besar untuk menuntaskan masalah stunting dan kemiskinan di wilayah itu," kata Muhadjir dalam keterangan persnya usai menghadiri rapat kerja tentang percepatan penurunan stunting 12 provinsi prioritas di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Muhadjir menjelaskan, dalam rapat yang dihadiri 12 kepala daerah itu, para gubernur maupun wakil gubernur khususnya di luar Jawa mendesak agar perusahaan besar di daerah agar menyisihkan CSR untuk penurunan stunting. Antara lain Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat.
Karena itu, Pemerintah meminta keterlibatan perusahaan swasta besar dalam penanganan stunting di daerah yang masih tinggi. "Saya menyerukan kepada pemimpin perusahaan di tempat-tempat yang stunting masih tinggi supaya peduli terhadap penanganan stunting ini agar menyisihkan CSRnya khusus untuk stunting dan nanti akan dikoordinasi oleh satgas stunting setempat," kata dia.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menjelaskan, dari 12 provinsi prioritas penurunan stunting terbagi menjadi dua sisi. Yakni tujuh provinsi dengan angka prevalensi stuntingnya tertinggi di Indonesia yakni NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Menurutnya, tujuh provinsi ini angka persentase tinggi tetapi jumlahnya tidak banyak. Sedangkan, lima provinsi lain yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sumatera Utara adalah daerah dengan angka absolut sangat besar tetapi memiliki persentase kecil karena jumlah penduduk yang besar.
"Yang lain dilihat dari persentasenya yang tinggi, angkanya tinggi, tapi penduduk tidak banyak, tapi tidak boleh diabaikan karena justru wilayah-wilayah yang persentase tinggi dengan penduduk tidak banyak daya ungkitnya perlu lebih besar," ujarnya.