REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktorat Polisi Perairan Korps Kepolisian Perairan dan Udara Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri) mengungkap 16 kasus pada periode Mei hingga Juli 2022. Kasus-kasus itu menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 40 miliar.
"Periode 30 Mei sampai 31 Juli kami telah mengungkap sebanyak 16 kasus dengan nilai total kerugian Rp40.141.610.000," ujar Kasubdit Patroli Air Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri Kombes Dadan di Mako Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (4/8/2022).
Dadan mengatakan, 16 kasus yang berhasil diungkap tersebut terdiri dari lima kasus penyelundupan narkoba, dua kasus pembalakan liar (illegal logging), dua kasus penyelundupan minyak ilegal (illegal oil), dua kasus penyelundupan benih lobster, empat kasus penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), dan satu kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Barang bukti yang berhasil dikumpulkan, kata Dadan, meliputi 291.114 ekor benih lobster, 13,7 kilo liter BBM solar subsidi, 1.092,26 gram sabu, 200 batang kayu campuran, 133.000 gram bom ikan, 683 detonator, empat unit speed boat, dan lima unit kapal motor.
"Tersangka yang ditangkap sebanyak 25 orang," kata Dadan.
"Penyidikan ada yang ditangani Subdit Gakkum di sini, ada juga yang dilimpahkan, dan sampai saat ini semuanya sedang berjalan dalam proses penyediaan, demikian juga ada yang dikembangkan," tambahnya.
Kasubdit Gakkum Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri Kombes Rustam Mansur menyebutkan, belasan kasus yang berhasil diungkap tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dan kebanyakan motif para tersangka melakukan tindak pidana ialah karena faktor ekonomi. Rustam mengatakan, kasus penyelundupan narkoba yang berhasil diungkap berasal dari tiga provinsi yakni Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau, lalu kasus TPPO terjadi di Kepulauan Riau, kemudian kasus illegal logging di Kalimantan Selatan, serta kasus illegal oil terjadi di Lampung dan Sulawesi Selatan.
"Kemudian illegal fishing itu terjadi di Banten, kemudian di Sumatera Selatan, di Sulawesi Tengah, dan Papua Barat," kata Rustam.