REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Ribuan pengunjuk rasa berbaris sambil menangis di ibukota Lebanon, Beirut, pada Kamis (4/8/2022). Mereka menandai dua tahun sejak ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut dengan nyanyian mencela kegagalan pemerintah untuk mengungkap kebenaran di balik ledakan itu.
Sebagai pengingat bencana, beberapa silo gandum yang rusak parah akibat ledakan itu runtuh pada Kamis sore. Peristiwa itu terjadi hanya ratusan meter dari tempat kerumunan orang berkumpul di tepi laut kota.
Silo beton retak dan jatuh setelah terbakar selama beberapa minggu, mengirimkan awan asap dan debu ke langit. Para pengunjuk rasa menutup mulut mereka dengan tak percaya.
"Melihat asap yang keluar, terutama saat saya berada di sini selama ledakan memicu ingatan yang sangat buruk. Itu adalah asap yang sama yang datang dari silo yang lalu," kata pemrotes berusia 31 tahun bernama Samer al-Khoury.
Para pengunjuk rasa mengenakan kaos dengan cap tangan berwarna merah darah. Mereka berbaris dari Kementerian Kehakiman Lebanon ke tepi laut kota dan kemudian ke parlemen di pusat Beirut.
Ledakan besar merusak petak-petak kota pada 4 Agustus 2020, membunuh sedikitnya 220 orang. Salah satu ledakan non-nuklir terbesar dalam sejarah itu disebabkan oleh simpanan besar amonium nitrat yang disimpan di lokasi di pelabuhan dan diabaikan sejak 2013.
"Penting bagi saya untuk berada di sini hari ini karena sangat penting bagi kami untuk meminta keadilan dan pertanggungjawaban atas apa yang terjadi," kata warga Lebanon yang tinggal di Kanada selama dekade terakhir Stephanie Moukheiber.
"Apa yang terjadi bukanlah kesalahan, itu adalah pembantaian. Itu menghancurkan seluruh kota," ujar sosok yang memutuskan untuk menghabiskan musim panas di Beirut.
Beberapa pejabat senior telah dituduh bertanggung jawab tetapi sampai saat ini tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban. Para kritikus menyatakan, elit pemerintahan dilumpuhkan oleh korupsi dan yang mengawasi Lebanon telah jatuh ke dalam krisis politik dan ekonomi.
Dalam misa memperingati para korban pada Kamis, pemuka Kristen Lebanon Patriarch Beshara al-Rai mengatakan Tuhan mengutuk pejabat yang menunda penyelidikan domestik. Dia mengulangi seruan untuk penyelidikan internasional.
"Apa lagi yang Anda inginkan, apa yang lebih dari kejahatan abad ini, untuk bertindak?" kata Rai yang mempertahankan pengaruh politik yang signifikan dalam sistem pembagian kekuasaan sektarian Lebanon.
Hizbullah Syiah dan sekutunya Amal Movement telah menjadi penentang utama penyelidikan tersebut. Mereka menuduh hakim yang memimpinnya bias setelah menuduh politisi senior Amal Movement dan berusaha menanyai pejabat keamanan dan politik tinggi lainnya. Penyelidikan telah terhenti selama berbulan-bulan karena penolakan menteri yang didukung Amal Movement untuk menandatangani keputusan administratif.