REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo mendukung penuh upaya menekan prevalensi perokok pada anak. Hasto menyebutkan, rokok erat kaitannya dengan stunting, yakni menyebabkan janin tumbuh dengan lambat.
“Pengaruh rokok itu terbukti kan semua sepakat dari hasil katakanlah dari meta analisis atau statistika review itu semua menunjukan bahwa pengaruh rokok adalah janin tumbuh lambat. Secara ilmiah, antara rokok dan pertumbuhan janin ini sudah terbukti dan sangat signifikan,” ujar Hasto dalam siaran pers, Jumat (5/8/2022).
Hasto menyebutkan, orang tua, khususnya ayah, harus benar-benar melindungi anggota keluarganya dari bahaya paparan asap rokok. Jika terpaksa, Hasto meminta untuk merokok di luar rumah dan jauh dari jangkauan keluarga.
“Kalau kita melarang orang merokok itu hampir pasti kita gagal. Tapi kalau mencegah orang merokok kemungkinan sukses besar. Karena itu sebaiknya kita mencegahnya lewat perokok baru atau anak-anak ini,” tutur Hasto.
Di Indonesia saat ini, kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 pada 2015, dengan total kerugian makro mencapai Rp 596,61 triliun. Tembakau membunuh 290 ribu orang setiap tahunnya di Indonesia dan merupakan penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang zat adiktif agar bisa memperkuat perlindungan anak terhadap produk rokok. IAKMI sangat menanti regulasi larangan menjual rokok secara ketengan alias batangan.
Selain itu, IAKMI mendorong pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media, baik di luar ruang, dalam ruang, televisi, dan media digital, termasuk internet. “Ada Bapak merokok di samping ibu yang sedang hamil, saat menyusi dan lain-lain. Itu kan potensi anak dalam kandungan menjadi stunting. Jadi proses pendidikan merokok sejak dini. Kalau kita berjuang untuk pendidikan anak sejak dini, nah perokok itu mendidik anaknya merokok sedini mungkin,” kata Ede.
Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI, Sumarjati Arjoso, menyebutkan, jumlah perokok pada anak di bawah 18 tahun jumlahnya meningkat. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada tiga dari empat orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya, pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,2 persen, kemudian naik menjadi 8,8 persen pada 2016, 9,1 persen tahun 2018, 10,7 persen tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di tahun 2030.
“Kami audiensi ke BKKBN bertemu Pak Hasto ingin mendapatkan masukan, karena seperti kita ketahui prevalensi tembakau pada anak remaja sulit sekali untuk dikendalikan,” ujar Sumarjati.