REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memberi pesan industri pers harus bisa melawan ancaman disrupsi yang saat ini terus berlangsung. Hal ini ditekankan Ridwan Kamil, dalam acara 10 tahun Forum Pemred, Memajukan Pers Menyatukan Bangsa, Jumat (5/8/2022).
Dalam kesempatan pemaparannya, Gubernur yang sapaan akrab RK ini memaparkan saat ini dunia sedang terguncang dengan tiga disrupsi. Disrupsi pertama Pandemi, yang mebgubah gaya hidup dan merugikan ekonomi seluruh negara, sehingga memunculkan sebuah adaptasi baru.
Disrupsi kedua, revolusi digital. Mereka yang tidak punya skill digital, RK pastikan akan semakin ketinggalan, dan berpotensi masuk dalam 80 juta pekerjaan yang akan hilang. Tapi revolusi digital juga menghasilkan 100 juta definisi pekerjaan yang akan hadir bagi generasi muda kedepan.
Dan guncangan ketiga adalah disrupsi perubahan iklim global. Perubahan iklim dan naiknya muka air laut, akan mengganti area lahan menjadi kawasan laut. Jadi ini juga tantangan dimana dunia yang sekarang akan selamat atau tidak dari ancaman guncangan ketiga disrupsi itu.
RK memaparkan sudah banyak contoh seperti Srilanka, ada juga Ukraina dan bahkan ada negara bubar karena tidak bisa menjaga persatuan bangsanya. Pertanyaannya apa yang bangsa Indonesia lakukan saat ini sudah benar atau tidak. Karena ada juga beberapa negara, mengantisipasi cepat disrupsi itu, seperti negara Tiongkok yang dengan cepat menjadi negara adidaya baru.
Kemudian ada juga negara Singapura, tahun yang merdekanya belakangan dari Indonesia, tapi sekarang GDP percapitanya sudah mencapai 60 ribu dolar AS. "Karena itu kita juga harus merefleksikan diri lagi apakah yang kita jalani, demokrasi yang kita jalankan sudah benar atau belum. Ini yang harus terus direfleksikan dan diperbaiki," kata RK.
Berbeda dengan negara-negara tersebut, Ridwan Kamil menilai Pers sebagai pilar demokrasi Indonesia, industri pers nya harus mampu melawan fenomena disrupsi di dunia digital ini. Karena ada ratusan juta yang memproduksi informasi, semua itu dikarenakan adanya sosial media.
Di sisi lain, tidak sedikit publik mengkonsumsi informasi media sosial itu, menjadikan medsos sebagai referensi informasi. Sedangkan kebenaran informasinya belum tentu benar, sehingga membiaskan informasi yang sebenarnya.
"Bagaimana melawan itu, perlu dilawan karena ada sisi gelap dari perkembangan digital itu, yakni berkembangnya berita bohong. Saking banyaknya penyebaran berita bohong, bisa meresahkan masyarakat," papar RK.
"Bagaimana membedakan berita bohong atau tidak, kalau informasi dan berita itu juga muncul di media mainstream maka itu bukan berita bohong, itu faktual," katanya melanjutkan.
Tapi kalau belum muncul di media mainstream yang menjadi anggota forum Pemred itu, jangan dipercaya informasi tersebut, dan segera tabayun dahulu. Karena itu, RK menekankan forum Pemred punya tanggung jawab, kewajibannya menungganginya secara positif dan memperkuat benteng pertahanan informasi yang obyektif.