REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tumbuh signifikan hingga 5,44 persen. Sejumlah ekonom menilai pertumbuhan itu tak terlepas dari lonjakan harga komoditas yang merupakan faktor sesaat. Pemerintah masih perlu mewaspadai potensi penurunan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2022 mendatang.
Ekonom Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Askar Muhammad, mengatakan, ekonomi memang diproyeksi akan tumbuh positif karena konsumsi rumah tangga yang sudah pasti mengalami peningkatan. Tercatat, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 5,51 persen, naik dari kuartal sebelumnya yang hanya 4,34 persen.
Namun, Askar menekankan, pertumbuhan positif bisa melejit hingga 5,44 persen terbantu akibat kenaikan harga-harga komoditas unggulan Indonesia yang diekspor ke sejumlah negara.
Terutama seperti harga batubara, nikel hingga komoditas minyak sawit yang mengalami kenikan harga global sehingga mendongkrak nilai ekspor. Pertumbuhan ekspor selama kuartal II lalu juga tembus hingga 19,74 persen.
"Kenapa bisa setinggi itu ya karena harga komoditas, jadi kita tidak bisa terlalu bangga dengan angka itu. Kalau dilihat angkanya saja, jelas itu benar-benar impresif," kata Askar kepada Republika.co.id, Jumat (5/8/2022).
Memasuki kuartal III, Askar memproyeksi harga komoditas global masih akan tinggi sehingga bakal kembali mendongkrak kenaikan pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, pemerintah harus tetap mengantisipasi berbagai kemungkinan situasi global yang bisa menganggu perekonomian domestik.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, konsumsi masyarakat yang terdongkrak pada kuartal II lalu pun terbantu oleh momen Idul Fitri dan diperbolehkannya masyarakat melakukan mudik.
Senada dengan Askar, Bhima mengatakan, asumsi BPS bahwa pertumbuhan ekonomi yang sudah lebih baik dari sebelum pandemi yakni akibat kenaikan harga komoditas.
"Itu bukan cerminan fundamental ekonomi, karena naik turunnya harga komoditas di luar dari kuasa pemerintah," kata Bhima.
Ia menambahkan, bergantung pada harga komoditas, Indonesia akam kerepotan ketika harga komoditas global turun. Apalagi, jika resesi ekonomi global terjadi dan menurunkan permintaan bahan baku industri seperti dadi AS, China, dan Eropa.
Adapun, kata dia, inflasi yang masih terjaga di kisaran 4,35 persen hingga Juni karena pengusaha masih tahan kenaikan harga ditingkat konsumen.
Pemerintah, kata Bhima juga masih menahan harga BBM subsidi dan elpiji 3 kilogram (kg). Langkah tersebut memberikan kontribusi besar dalam mempertahankan daya beli kelompok menengah dan bawah.
"Pembayaran THR swasta yang penuh juga turut andil dalam memperbaiki daya beli kelompok pekerja upahan,"
Bhima mengingatkan, Indonesia tidak boleh terlena terhadap pertumbuhan yang positif ini. Sebab, tantangan di semester ke II jauh lebih berat. Terdapat imported inflation yang dapat terjadi karena mahalnya harga bahan baku, diperkirakan akan diteruskan ke konsumen.
Konflik yang meluas bukan hanya Rusia-Ukraina tapi China-Taiwan diperkirakan memperburuk rantai pasok dan menimbulkan pelemahan sisi investasi langsung.