Senin 08 Aug 2022 11:33 WIB

Meriahnya Perayaan Hoyak Tabuik di Pariaman pada Masa Kolonial Belanda

Pada tahun 1936 sempat memicu perkelahian serius antara penduduk dua kampung.

Red: Muhammad Subarkah
Perayaan Tabuik di Parimanan pada tahun 1936.
Foto: media-kitlv.nl
Perayaan Tabuik di Parimanan pada tahun 1936.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fikrul Hanif Sufyan (Periset, Penulis, dan Pengajar Sejarah)

Hampir dua tahun, perayaan Tabut (baca: Tabuik) tidak diselenggarakan di Kota Pariaman. Sebelumnya, agenda tahunan ini, menjadi ajang event pariwisata di Pariaman itu, dan terus diselenggarakan. Di puncak perayaannya, seluruh masyarakat yang hadir dari penjuru Sumatra Barat, tumpah ruah menyaksikan akhir dari prosesi Tabuik yang dibuang ke laut pada pukul 18.00.

Bulan Muharam, bagi orang Minang tidak saja identik dengan perayaan tahun baru Islam, ataupun selamatnya Musa dan kaum Yahudi dari kejaran Fir’aun pada 10 Muharram, tapi juga peringatan terhadap kematian cucu Rasulullah SAW dalam peristiwa Padang Karbala. Peristiwa Asyura itu, terjadi tepat pada 10 Muharam tahun 61 Hijriyah –atau bertepatan dengan  10 Oktober tahun  680. Mereka memaknai dengan perayaan Tabut (baca: Tabuik). 

Barangkali, agak aneh ritual yang biasanya dirayakan oleh Islam Syiah,  dirayakan oleh di pinggir pantai Kota Pariaman yang mayoritas masyarakatnya ber-Mazhab Syafii. Bila ditelisik jauh di masa lampau, perayaan itu tidak ujuk-ujuk hadir pada hari ini.

Dalam catatan arsip, dan surat kabar masa Kolonial Belanda ditemukan, bahwa perayaan Tabuik telah berlangsung sejak lama, dan dimuat dalam pemberitaan pada akhir abad ke-19. Ditenggarai, ritual ini dibawa oleh orang Persia dan India yang bermukim di pesisir pantai Barat Sumatra. 

Dan menariknya, ritual perayaan ini tidak hanya hadir di Pariaman, tapi juga di Kota Padang. Adalah pewarta berkebangsaan Belanda bernama  J.A Kroyt, J.L Vogt dan lainnya pernah mengabadikan peristiwa peringatan Tabuik ini dalam kurun waktu akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Dari beberapa catatan jurnalis itu, banyak menyoroti tentang rentetan trilogi, yakni Tabuik Basilisiah.  Bagi orang Pariaman, dari dulu sampai kini, bagian ini yang menjadi daya tarik tersendiri. mereka berbondong-bondong menyaksikan atraksi ini memenuhi kawasan di sekitar Simpang Tabuik.

Pada 8 April 1936, jurnalis Vogt menyoroti perayaan Tabuik yang mereka sebut festival rakyat di Pariaman (Advond Post, 9 April 1936). Dalam laporan reportasenya disebut, terjadi perkelahian sengit antara penduduk dua kampung, yang mengakibatkan banyak yang terluka. Peristiwa baku hantam di antara dua kampung itu, memang tidak lepas dari ritual Tabuik Basilisiah. 

Perayaan populer di Pariaman pada tahun 1936 itu, memicu perkelahian serius antara penduduk dua kampung, menyebabkan banyak yang terluka (Algemeen Handelsblad, 09 April 1936). Bagi kedua kampung yang terlibat perkelahian, adalah hal yang biasa dan menjadi bagian dari ritual Tabuik. Karena bagi mereka yang berkonflik, setelah perayaan Tabuik akan kembali berdamai. 

Namun, ritual yang terjadi pada tahun 1936, memang lebih keras dibandingkan tahun sebelumnya.  Tahun sebelumnya, pada 1935, dalam festival Tabuik tidak terjadi 'pertarungan' penting yang terjadi. Perkelahian yang menyebabkan luka-luka itu, ketika melewati dua Tabut, satu orang mematahkan lengannya. 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement