REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transfer Pricing (TP) merupakan suatu kebijakan penetapan harga transfer yang digunakan dalam transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Pada umumnya TP dilakukan oleh perusahaan multinasional.
Kendati TP adalah proses lumrah dalam kegiatan industri, namun tidak jarang proses ini dimanipulasi dengan tujuan untuk mengalihkan penghasilan dari perusahaan dalam suatu negara dengan tarif pajak yang tinggi ke perusahaan lain (dalam satu grup yang sama) dengan tarif pajak yang lebih rendah dengan tujuan untuk mendapatkan laba yang lebih besar.
International Tax Analyst Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Melani Dewi Astuti menambahkan pengesahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah memperbarui Pasal 18 ayat 3 UU PPh yang mengatur tiga isu penting, yakni penambahan metode penentuan harga wajar, penerapan benchmarking, dan secondary adjustment.
“Atas pembaharuan pada Pasal 18 ayat 3 UU PPh, penentuan harga wajar dapat dilakukan dengan tambahan tiga metode baru yakni comparable uncontrolled transaction method, tangible asset and intangible asset valuation, dan business valuation. Tujuan penambahan metode ini adalah untuk mengakomodasi penggunaan metode-metode baru selain lima metode yang telah ditetapkan pada peraturan sebelumnya,” ujarnya saat webinar, Senin (8/8/2022).
Adanya penyebutan tambahan metode-metode baru transfer pricing yang tersedia dalam UU HPP diharapkan dapat menjadi langkah optimalisasi pencegahan penghindaran pajak internasional yang praktiknya banyak dilakukan melalui transfer pricing.
Sementara itu Partner Tax RSM Indonesia Salil Goyal mengatakan dalam menyikapi ragam manipulasi harga transfer yang terjadi, otoritas pajak memiliki kewenangan memastikan harga transfer sudah sesuai dengan prinsip Arms Length Principle (ALP) yakni prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang memiliki peran penting dalam memberikan guidance transfer pricing secara berkala menerbitkan panduan yang menjadi aturan main dalam skema penentuan harga transfer yang bertujuan mencegah terjadinya tax abuse dan mencegah pemajakan berganda.
“Pada 2020, sebagai respon atas pandemi Covid-19 yang mempengaruhi aktivitas bisnis, OECD merilis panduan khusus yang salah satunya menegaskan bahwa data dari transaksi independen ‘contemporaneous uncontrolled transactions’ dapat menjadi data pembanding yang lebih wajar dan tepat diaplikasikan untuk menentukan harga transfer yang wajar dibandingkan dengan penggunaan three years approach,” ucapnya.
Salil menjelaskan menjelaskan OECD sejak 2020 bahkan telah melakukan dua kali pembaruan terhadap Transfer Pricing Guidelines. Salil Goyal juga memaparkan, OECD yang kembali merilis Transfer Pricing Guidelines pada Januari 2022 memperbarui informasi penting yang mencakup penyempurnaan tiga acuan, diantaranya terkait kapan dan dalam kasus seperti apa pembagian laba transaksi (PSM) menjadi metode yang tepat untuk digunakan, pembaharuan pedoman Hard-to-Value Intangibles (HTVI), dan penentuan harga transfer atas transaksi keuangan.