REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengakuan tersangka Bharada Richard Eliezer (E) terkait pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua (J) menguak fakta baru. Tim pengacara Bharada E mengungkapkan, tewasnya Brigadir J di rumah dinas mantan Kadiv Propam Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo bukan insiden kejadian tembak-menembak. Melainkan disebutkan, sebagai pembunuhan berencana tanpa perlawanan.
Pengacara Muhammad Boerhanuddin mengungkapkan, kliennya, Bharada E, sudah mengakui ikut dalam aksi pembunuhan Brigadir J. Bahkan diakui oleh Bharada E, dia menjadi pelaku penembakan pertama terhadap Bharada E.
“Dia (Bharada E) sudah mengaku. Dia yang menembak pertama kali,” ujar Boerhanuddin via sambungan telefon, dari Jakarta, Senin (8/8).
Namun, kata Boerhanuddin menambahkan, pengakuan kliennya yang melakukan tembakan pembuka, atas dasar perintah dari atasannya. “Dia (Bharada E), mengaku menembak karena ada tekanan, itu perintah dari atasannya,” ujar Boerhanuddin.
Tim pengacara belum berani menyebut nama atasan yang memberi perintah kepada Bharada E untuk menembak Brigadir J. Sebab, dikatakan pengacara, materi soal pemberi perintah tersebut, dalam pendalaman tim penyidikan di Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtitpidum) Bareskrim Polri, dan juga Tim Gabungan Khusus, bersama Inspektorat Khusus (Irsus) bentukan Kapolri.
Tetapi, kata Boerhanuddin, Bharada E menjelaskan dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dan juga kepada penyidik, penembakan sampai mati terhadap Bharada E itu, dilakukan lebih dari dua orang. “Kan dia sudah mengaku ikut menembak. Dan dia sebutkan, setelah dia (melakukan penembakan) ada pelaku lain,” ujar Boerhanuddin.
Ketika ditanya soal pelaku lain tersebut apakah atasan yang selama ini berinisial FS Boerhanuddin belum bersedia membalas spesifik. “Dapat perintah menembak dari atasan,” ujar Boerhanuddin.
Boerhanuddin juga mengungkapkan, pengakuan Bharada E yang menceritakan peristiwa penembakan tersebut, dilakukan cepat. Pun dilakukan tanpa ada aksi balasan dari Brigadir J. “Dari dia (Bharada E) memang pelaku yang menembak lebih dari satu, Dan saat itu tidak ada tembak-menembak (dengan Brigadir J),” terang Boerhanuddin.
Tim pengacara, saat ini dalam upaya meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan proteksi maksimal terhadap Bharada E, atas pengakuannya itu. Tim pengacara, juga setuju dengan Bharada E, untuk meminta penyidik menjadikannya sebagai justice collaborator dalam kasus pembunuhan Brigadir J ini.
Sementara dalam penyidikan lanjutan oleh Dittipidum Bareskrim, dan Tim Khusus Gabungan Polri, sudah menetapkan dua orang sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J. Awalan dalam kasus ini, adalah Bharada E yang ditetapkan tersangka Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana.
Pada Ahad (7/8), tim tersebut kembali menetapkan tersangka, yakni Brigadir Ricky Rizal (RR), yang ditetapkan tersangka Pasal 340, juncto Pasal 338, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana.
Pengakuan dari Bharada E ini, berbeda dengan narasi kepolisian selama ini, yang menyebutkan tewasnya Brigadir J karena adu tembak dengan Bharada E. Versi kepolisian selama ini menyebutkan insiden tembak-menembak tersebut, berawal dari perbuatan amoral, berupa pelecehan seksual, dan pencabulan, serta ancaman Brigadir J terhadap Putri Candrawathi Sambo, isteri dari Irjen Ferdy Sambo.
Sejak Sabtu (6/8), Polri juga menjebloskan Irjen Sambo ke sel isolasi khusus di Mako Brimob. Tapi pengamanan maksimal terhadap Irjen Sambo itu, masih belum terkait dengan materi pokok kasus pembunuhan Brigadir J.
Melainkan, terkait dengan pelanggaran etik, berupa pengrusakan alat bukti di tempat kejadian perkara (TKP), di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan (Jaksel). Irjen Sambo juga diduga sebagai dalang, dan otak perancangan skenario manipulasi, serta rekayasa kronologis peristiwa kematian Brigadir J. Tim Irsus Polri, mengurusng Irjen Sambo dalam waktu maksimal selama 30 hari, untuk memastikan pelanggaran etik tersebut.