Senin 08 Aug 2022 19:33 WIB

80 Persen Pengidap Gagal Ginjal Masih Berusia Produktif

Perubahan gaya hidup masyarakat, membuat pergeseran kelompok rentan penyakit

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Gita Amanda
ilustrasi Pasien gagal ginjal. Direktur Utama Rumah Sakit Khusus Ginjal (RSKG) Ny.R.A. Habibie Noor Rusma Hidayati mengatakan, seiring masifnya perubahan gaya hidup masyarakat, membuat terjadinya pergeseran kelompok rentan penyakit-penyakit tidak menular, termasuk gagal ginjal.
Foto: Antrara/Destyan Sujarwoko
ilustrasi Pasien gagal ginjal. Direktur Utama Rumah Sakit Khusus Ginjal (RSKG) Ny.R.A. Habibie Noor Rusma Hidayati mengatakan, seiring masifnya perubahan gaya hidup masyarakat, membuat terjadinya pergeseran kelompok rentan penyakit-penyakit tidak menular, termasuk gagal ginjal.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Direktur Utama Rumah Sakit Khusus Ginjal (RSKG) Ny.R.A. Habibie Noor Rusma Hidayati mengatakan, seiring masifnya perubahan gaya hidup masyarakat, membuat terjadinya pergeseran kelompok rentan penyakit-penyakit tidak menular, termasuk gagal ginjal. Menurutnya, saat ini, pengidap penyakit gagal ginjal justru didominasi oleh pasien dengan usia produktif, kisaran 20-50 tahun.

“(kisaran usia pengidap gagal ginjal) variatif ya, tapi paling banyak justru usia produktif. Ada yang masih sekolah juga tapi tidak banyak. Mayoritas itu kisaran 20-50 tahun, sekitar 80 persen dari total pasien ginjal. Kalau usia di atas 60 itu tidak banyak sekitar 10 persen, yang di bawah 20, antara 5-10 persen,” kata Rusma kepada Republika, saat ditemui di acara peringatan HUT RSKG Ny.R.A. Habibie di Kota Bandung, Senin (8/8/2022).

Baca Juga

“Mahasiswa bahkan pelajar juga ada banyak, makanya sekarang digalakkan deteksi dini penyakit tidak menular, untuk mengantisipasi potensi penyakit mematikan seperti gagal ginjal,” sambungnya.

Menurutnya, minimnya pemahaman dan edukasi tentang bahaya gagal ginjal, membuat banyak pengidap menganggap enteng bahkan tidak menyadari gejala yang mereka alami. Hal ini pula yang membuat mayoritas pengidap gagal ginjal baru mengetahui penyakitnya ketika telah memasuki stadium akhir atau kritis.

“Kebanyakan mereka sudah berada di stadium kritis, karena edukasi dan pemahaman mengenai gejala penyakit ginjalnya itu yang masih rendah. Jadi pasien itu kadang tidak sadar, menunda, menganggap remeh dan lainnya. Jadi saat kondisinya sudah stadium lima baru datang ke RS jadi akhirnya kondisinya memang sudah gawat,” ujarnya.

Dia mengakui bahwa memang tidak ada gejala khusus untuk pengidap gagal ginjal stadium awal, bahkan ada beberapa kasus dimana pasien tidak merasakan gejala apapun. Oleh sebabnya, dia menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin, minimal setahun sekali, sebagai upaya pendeteksian dini.

Kelompok-kelompok yang paling rentan, kata dia, adalah mereka yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit gagal ginjal. Orang yang memiliki penyakit hipertensi dan diabetes juga menjadi kelompok yang rentan terjangkit gagal ginjal, kata dia.

“Gaya hidup tidak sehat juga sebenarnya bisa, cuma saat ini kalau berdasar angka dari Dinkes, penyebab tertinggi memang masih hipertensi dan diabetes, tapi selain itu juga karena gaya hidup tidak sehat,” ujarnya.

Terkait pengobatan, selain menyediakan metode hemodialisis, cuci darah menggunakan mesin khusus, pasien Rumah Sakit Khusus Ginjal (RSKG) Ny.R.A. Habibie juga diberikan opsi untuk menjalani metode Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Melalui metode CAPD, pasien tidak perlu lagi datang ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah, karena dapat melakukannya secara mandiri di rumah.

“Kalau pasien CAPD memang lebih banyak dari luar kota karena dia kan bisa di rumah jadi kesini hanya konsultasi dan pengambilan resep cairan,” ujarnya.

Sejak diterapkan pada 2006 silam, pasien yang menggunakan metode CAPD sudah cukup terbilang tinggi, kata Rusma. Karena selain dapat memangkas terbuangnya waktu untuk melakukan cuci darah di rumah sakit, dengan metode ini, pengidap gagal ginjal yang memiliki rutinitas padat dan mobilitas tinggi juga dapat lebih bergerak bebas. Menurutnya, sebelum pandemi, pasien CAPD pernah mencapai 130 pasien, namun saat pandemi, jumlah tersebut merosot menjadi 80 pasien saja.

“CAPD itu disarankan untuk pasien dengan mobilitas tinggi, seperti yang masih sekolah, kerja, atau rumahnya jauh, itu lebih baik capd karena dia fleksibel ya dan bisa diatur sendiri cuci darahnya tapi memang dilakukan manual, tidak menggunakan mesin seperti HD. Makanya dia atau pendamping/pengasuhnya ditraining dulu disini, sehari ganti 4 kali cairannya itu tapi sama sih mekanisme kerjanya dengan treatment HD, bedanya ini dilakukan di rumah bukan RS dan dia bisa atur sendiri waktunya. Kalau HD kan dia harus ke RS,” pungkasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement