REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD RI Fahira Idris menilai, perlu ada terobosan besar untuk mencegah terus meningkatnya prevalensi perokok anak. Salah satunya menjadikan KTP Elektronik (KTP-el) sebagai syarat membeli rokok.
Menurut dia, berbagai terobosan ini harus segera digulirkan agar tidak ada celah bagi anak untuk mengakses rokok. Sebab, data menunjukkan jumlah perokok anak di Indonesia terus meningkat. Bahkan, jika merujuk beberapa data angka pertumbuhan perokok sangat mengkhawatirkan.
Seperti data dari Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun. Ini artinya prevalensi perokok anak terus meningkat.
"Kenapa prevalensi perokok anak terus meningkat? karena akses mereka mendapatkan rokok begitu mudah di negeri ini. Selama ada uang mereka bisa beli rokok di mana saja dan kapan saja. Kenapa celah ini tidak kita tutup," kata Fahira di Jakarta, Senin (8/8/2022).
Salah satu caranya, bisa dengan menerbitkan aturan yang bersifat nasional. Misalnya peraturan pemerintah yang bisa juga dikuatkan aturan daerah yang menjadikan KTP-el sebagai syarat membeli rokok. Dengan syarat itu, anak-anak tidak mudah mengakses rokok.
"Semua toko baik supermarket, swalayan, minimarket, kelontong sampai kaki lima harus menaatinya dan jika melanggar diberi sanksi tegas penutupan atau denda. Aturan seperti ini jamak dilakukan di luar negeri," kata dia.
Menurut Fahira, isu penting lainnya terkait perokok anak adalah regulasi soal rokok di Indonesia. Terutama Peraturan Pemerintah (PP) 109 Nomor 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang belum efektif menurunkan jumlah perokok anak.
Selain itu, PP yang sudah berumur 10 tahun ini sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Beberapa hal seperti pengaturan iklan, promosi, dan sponsor produk rokok terutama di platform digital yang menyasar siapa saja serta bentuk-bentuk rokok lain seperti rokok elektrik yang juga sama sekali belum diatur.
"Saya mendesak pemerintah segera merevisi PP ini. Selama 10 tahun ini terjadi perubahan besar terkait promosi dan konsumsi rokok terutama kehadiran rokok elektrik yang juga mudah diakses oleh anak di bawah umur," tegasnya.
Menurut Fahira, semua strategi harus ditempuh untuk mempersempit ruang promosi rokok dan menutup celah agar rokok termasuk rokok elektrik tidak bisa diakses anak-anak. "Saya minta pemerintah merespons cepat persoalan ini, karena sudah berpuluh-puluh tahun, aturan kita terkait rokok begitu kendor sehingga mudah diakses anak-anak," tegas Fahira.
Sebagai informasi, berbagai data menunjukkan prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya. Jika pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen, pada 2016 naik menjadi 8,80 persen. Kemudian naik lagi 9,10 persen tahun 2018 dan menjadi 10,70 persen tahun 2019.
Diprediksi, jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di tahun 2030. Sementara itu, penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7,2 persen dari tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Bukan hanya itu, penggunaan rokok elektrik juga meningkat 10 kali lipat dari 0,3 persen di tahun 2011 menjadi 3 persen di tahun 2021.