REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mengantisipasi kemungkinan kesulitan bahan baku akibat konflik antara China dan Taiwan. Seperti diketahui, beberapa industri di Tanah Air seperti farmasi dan tekstil sangat bergantung pada bahan baku dari China.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sepanjang 2021 impor bahan obat-obatan dari Negeri Tirai Bambu itu mencapai 2,33 miliar dolar AS. Nilai tersebut mencapai sekitar 65 persen dari total impor bahan obat-obatan dan kesehatan nasional yang mencapai 3,36 miliar dolar AS pada tahun lalu.
"Hal itu memang kita sudah antisipasi. Ada faktor luar yang mana banyak yang bisa menjadi penghambat masuknya bahan baku dan bahan penolong dari sumbernya," ujar Plt Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kemenperin Ignatius Warsito saat ditemui Republika di PT Golden Dacron, Banten, Selasa (9/8/2022).
Salah satu langkah antisipasi yang dilakukan kementerian yakni dengan mengumpulkan para asosiasi terkait. Meliputi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPA Kosmetika), serta lainnya.
"Jadi apa yang mau kita dengarkan dan evaluasi untuk menyiasati kala mana pasokan dari bahan baku itu jadi kendala. Yang kita lakukan dengan memastikan pasokan dalam negeri itu lewat business matching antara pasokan dengan permintaan, lalu yang mungkin betul-betul nggak ada bisa cari alternatif bahan baku," tuturnya.
Untuk bahan baku farmasi, kata dia, ada empat meliputi basis herbal dan kimia. Saat ini, lanjutnya, Indonesia berupaya mengembangkan berbagai bahan baku tersebut.
"Seperti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), kemarin kami sudah lakukan komunikasi dengan BRIN. Tujuannya supaya ada alternatif bahan baku yang bisa menggantikan daripada bahan baku yang selama ini masih impor," tegas dia.