Nasib Bakul Layangan Solo di Tengah Majunya Teknologi
Rep: C02/ Red: Muhammad Fakhruddin
Nasib Bakul Layangan Solo di Tengah Majunya Teknologi (ilustrasi). | Foto: Republika/Thoudy Badai
REPUBLIKA.CO.ID,SOLO -- Gino sudah berjualan layangan sejak tahun 2000 an di Jl. Urip Sumoharjo, Jebres, Kota Solo. Sebelum memutuskan untuk berjualan layangan, ia adalah seorang penjual sembako dan kebutuhan sehari-hari. Namun, maraknya pusat perbelanjaan dan grosir membuat bisnisnya surut.
Gino sebenarnya adalah pendatang dari Yogyakarta. Namun ketika menikah dengan orang Solo, ia memutuskan untuk menetap di sini. Setelah menetap di sini kemudian ia melanjutkan usaha mertuanya, yakni berjualan sembako dan kebutuhan sehari-hari.
“Tahun 80-an sejak saya menikah dengan suami orang sini dan mertua saya masih ada waktu itu saya diajarkan untuk berjualan sembako. Sebenarnya saya aslinya orang jogja tapi nikah dengan orang sini 1972 saya menikah dan melanjutkan usaha mertua saya sejak 80-an itu,” kenangnya, Selasa (9/8/2022).
Dulu, usaha sembako sempat jalan. Namun, Gino menceritakan sejak tahun 2000-an banyak pusat perbelanjaan yang dibangun di Solo. Hal tersebut membuat pelanggan mulai beralih ke sana.
“Banyak dulu awalnya pelanggan itu saat jualan sembako, terus karena banyak pusat perbelanjaan pelanggan mulai berkurang dan tidak laku,” ungkapnya.
Sebenarnya menurut Gino awal berjualan layangan adalah karena pelanggan seringkali bertanya karena saat itu jarang juga yang jual layangan. Jadi selain berjualan sembako ia juga mulai berjualan layangan.
“Karena sepi pembeli terus layangan itu malah bagus ya saya mulai sembari jualan layangan, soalnya banyak yang menanyakan juga. Kalau dulu saya biasanya mengambil dari Grogol, Sukoharjo itu ada yang buat,” katanya.
Namun, selang berlalunya waktu, peminat layangan itu juga mulai menurun dari bisa kulakan 50 bal (satu ball isinya 1000 layangan) kini hanya kulakan 5-10 bal perbulan. Meski sebentar, pandemi kemarin menurut Gino jadi berkah tersendiri karena minat layangan kembali naik.
“Menurut saya berkurang peminat soalnya anak sekarang, khususnya di Solo banyak yang main hape sejak kecil, jarang bermain di luar rumah. Namun, pandemi kemarin sempat naik jadi satu juta rupiah per bal tapi itu pun hanya beberapa bulan,” katanya.
Meski berjualan di Solo, Gino menjelaskan bahwa kebanyakan pelanggannya adalah dari luar kota. Selain sibuk dengan gawai menurutnya anak-anak di Solo sudah tidak ada waktu untuk bermain karena kebanyakan sekolahnya full day school.
“Jadi banyak pembelinya berasal dari luar daerah, mulai dari sukoharjo, magelang, boyolali karanganyar dan sragen wonogiri, Soalnya anak-anak di sini selain lebih suka bermain hape juga sudah capek dengan sekolah yang pulangnya sampai sore, jadi mungkin tidak terpikirkan untuk bermain layangan,” ungkapnya.
Dulu, Gino menjelaskan bahwa omset penjualan layangan dalam sebulannya bisa mencapai puluhan juta. Berbeda dengan sekarang yang omset perbulannya menurun drastis.
Dulu, Gino menjelaskan bahwa omset penjualan layangan dalam sebulannya bisa mencapai puluhan juta. Berbeda dengan sekarang yang omset perbulannya menurun drastis.
“Dulu sebulan dapat dua puluh juta bisa, sekarang cuma dua juta perbulan. Seperti di tahun ini pada bulan februari di bulan maret yang harusnya kemarau tapi ini berhubung hujan sampai bulan akhir mei jadi pendapatan berkurang,” ungkapnya.
Sekarang, Gino kulakannya beralih ke Bandung karena di tempat sebelumnya harganya nail. Kini, Gino fokus berjualan layangan kertas kecil, tanggung dan benang macem-macemnya.
“Karena benang mahal jadi beralih ke senar nylon yang digelaskan dengan bijih kaca ambilnya juga dari bandung,” pungkasnya.
Gino menjelaskan banyak yang suka duka yang ia alami selama 20 tahun lebih berjualan layangan. Namun, ia memutuskan untuk tetap berjualan layangan karena sudah nyaman dan masih ada pembeli yang berlangganan dengannya meski pendapatannya menurun.