REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kematian Brigadir Nopriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J menemui babak baru. Sampai saat ini sudah ada empat orang yang dijadikan tersangka, sebanyak 56 personel Polri diperiksa dan 31 orang diduga melanggar kode etik.
Terkait itu The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyerukan proses penyidikan terhadap tindak pidana obstruction of justice yang dilakukan oleh para anggota Polri juga harus berjalan. Tidak hanya berhenti sampai sidang dan sanksi etik, namun proses pidana terhadap semua pelaku juga tetap harus ditempuh.
"Pasal 221 KUHP telah secara jelas mengatur ancaman pidana terhadap pihak-pihak yang menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti dengan maksud supaya tidak dapat diperiksa untuk kepentingan penegakan hukum," tegas Direktur Eksekutif, Erasmus A.T. Napitupulu, dalam keterangannya, Rabu (10/8/2022).
Bahkan, lanjut Erasmus, hukuman terhadap pelaku yang menjabat sebagai aparat penegak hukum tersebut seharusnya bisa diperberat dibanding jika pelakunya warga sipil. Sebab aparat tersebut diberi kewenangan besar yang kemudian disalahgunakan.
Selain itu, kata Erasmus, kasus ini akan menjadi salah satu uji coba terkait penggunaan pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice bagi pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum.
Meski ke depannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat. Khususnya dalam upaya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir saat ini.
Karena itu, kata Erasmus, pihaknya merekomendasikan beberapa masukan terkait kasus kematian Brigadir J. Pertama, Kapolri Listyo Sigit Prabowo melakukan proses pidana terhadap semua pelaku obstruction of justice yang terlibat dalam proses pengusutan kasus pembunuhan terhadap Brigadi J.
"Dengan sungguh-sungguh dan secara terbuka, tidak hanya berhenti sampai pemberian sanksi etik semata apabila ditemukan adanya indikasi tindak pidana," kata Erasmus.
Kedua, ICJR meminta Presiden dan DPR segera merancang adanya mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan independen terhadap proses penyidikan oleh polisi ke depan. Hal itu untuk mengantisipasi jika terjadi kasus-kasus yang melibatkan adanya konflik kepentingan dan relasi kuasa di tubuh kepolisian.
"Belajar dari kasus seperti pembunuhan brigadir J, Kompolnas dan Propam tidak mampu untuk menjalankan fungsi pengawasan itu, perlu ada satu lembaga khusus yang diberikan kewenangan untuk menyidik dan menuntut pidana dan etik oknum kepolisian," pinta Erasmus.
Kemudian rekomendasi ketiga, Erasmus mengatakan, dalam proses penyusunan RKUHP saat ini perlu lebih tegas untuk mengatur pasal-pasal pidana tentang obstruction of justice. Termasuk memastikan adanya pidana untuk rekayasa kasus dan rekayasa bukti, hingga mengatur pemberatan hukuman khususnya bagi pelaku pejabat atau aparat penegak hukum.
Rekomendasi terakhir, kata Erasmus, pihaknya meminta Presiden dan DPR untuk segera mendorong adanya perubahan KUHAP. Hal itu untuk memastikan adanya pengawasan dan kontrol yang lebih efektif terhadap kewenangan dan perilaku polisi dalam sistem peradilan.
"Khususnya dalam melakukan fungsi penyidikan, perlu didorong penguatan peran kontrol dari Kejaksaan dan pengawasan dari pengadilan," tutup Erasmus.