Rabu 10 Aug 2022 18:42 WIB

Serikat Perhutani Bersatu dan Pegiat Lingkungan Gugat Kebijakan KHDPK Menteri LHK

Gugatan teregister di PTUN Jakarta dengan nomor Perkara 275/G/2022/PTUN.JKT

Rep: Riga Nurul Iman / Red: Agus Yulianto
 Denny Indrayana.
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Denny Indrayana.

REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengurangi hampir separuh luas wilayah pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Jawa oleh Perhutani, memasuki babak baru. Sebab, pada Rabu (10/8/2022) ini Aliansi Selamatkan Hutan Jawa melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sebelumnya kebijakan itu dikritik dan didemo oleh karyawan Perhutani beserta elemen masyarakat lainnya. Kini keputusan pemangkasan wilayah kelola Perhutani sebanyak 1,1 juta hektare dari total 2,4 juta hektare yang selama ini dikelola Perhutani tersebut harus menghadapi gugatan di PTUN.

"Sekitar pukul 14.50 WIB, gugatan dimaksud teregister di PTUN Jakarta dengan nomor Perkara 275/G/2022/PTUN.JKT," ujar Mochamad Ikhsan, perwakilan salah satu penggugat dalam rilisnya, Rabu (10/8/2022). 

Para penggugat ini tergabung dalam Aliansi Selamatkan Hutan Jawa. Mereka meminta kepada Menteri LHK agar membatalkan Surat Keputusan Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten yang ditandatangani 5 April 2022 (SK 287/KHDPK). 

“Hutan dan alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu kita," kata Ikhsan.

Filosofi itulah yang menjadi salah satu perhatian aliansi menolak kebijakan KHDPK. Hal ini karena pengelolaan hutan Jawa yang sudah baik dan diharapkan tetap dipertahankan agar tetap sustainable.

"Kami mengambil keputusan untuk memperjuangkan hutan Jawa dengan mengajukan gugatan di PTUN guna membatalkan SK 287/KHDPK, yang telah teregister di Kepaniteraan PTUN Jakarta tanggal 10 Agustus 2022,” ujar Ikhsan. 

Dia menambahkan, keberhasilan reboisasi hutan oleh Perhutani bahkan diakui sendiri oleh Kementerian LHK. Di mana dalam rekalkulasi penutupan lahan di Indonesia tahun 2020 yang diterbitkan KLHK (https://geoportal/menlhk.co.id), tutupan hutan Jawa (yang dikelola perhutani) hanya kalah dari Papua. Sedangkan dibandingkan hutan di luar Jawa lainnya, tutupan hutan Jawa jauh lebih baik.

Selain itu, lanjut Ikhsan, konflik sosial dan konflik lahan juga mulai terjadi di berbagai daerah sebagai imbas dari kebijakan KHDPK. Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm yang ditunjuk sebagai kuasa hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa, menyampailan, sebelum mengajukan gugatan pihaknya telah mengajukan upaya administratif berupa keberatan kepada Menteri LHK dan Banding kepada Presiden Joko Widodo. Akan tetapi keduanya mendapatkan respons negatif. Padahal, SK 287/KHDPK mengandung berbagai kecacatan serta ketidakabsahan dan seharusnya dibatalkan atau dinyatakan tidak sah. 

“Setelah kami kaji secara seksama, SK 287/KHDPK memang problematik dan multicacat, yaitu cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi," ungkap Denny Indrayana, kuasa hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa di Jakarta.

Ketiga syarat tersebut sangat mendasar dan karena itu dapat digunakan sebagai alasan pembatalan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara. Ia menjelaskan, sebagai sebuah kebijakan, SK 287/KHDPK jelas-jelas menabrak putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja.

Di mana salah satu amar putusannya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Di samping itu, SK 287/KHDPK juga cacat prosedur karena diterbitkan tanpa sosialisasi, baik sebelum diterbitkan maupun pasca diterbitkan.

Padahal MK menegaskan, sosialisasi harus dilakukan secara baik dan proper, yang dikenal sebagai meaningful participation dan bukan formalitas semata. “SK 287/KHDPK juga bertentangan dengan berbagai asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan," kata Denny.

Selain itu, kata dia, jika dilihat dari sisi substansi juga bermasalah karena diterbitkan pada wilayah kerja BUMN Kehutanan sehingga dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021.

"Dari sisi prosedur juga bertentangan dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Muhamad Raziv Barokah, Senior Lawyer Integrity Law Firm. 

Seperti diketahui, Aliansi Selamatkan Hutan Jawa sebagai penggugat SK 287/KHDPK terdiri dari berbagai elemen. Di antaranya Serikat Karyawan Perum Perhutani (SEKAR PERHUTANI), Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P), Serikat Rimbawan Perhutani (SERIMBA-PHT), Serikat Rimbawan Pembaharuan Perhutani (SERIMBA-PPHT). Selanjutnya Perkumpulan Bina Karya Patria, Lembaga Masyarakat Desa Hutan Sinar Harapan Kaledong (LMDH SINAR HARAPAN KALEDONG), serta beberapa perwakilan pegawai Perhutani dan elemen masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement