Rabu 10 Aug 2022 20:14 WIB

China Cabut Janji Tidak Kirim Pasukan ke Taiwan

China keluarkan dokumen berjudul Pertanyaan Taiwan dan Reunifikasi China di Era Baru

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
 Tentara Taiwan menembakkan artileri selama latihan tembakan langsung di Pingtung, Taiwan, 09 Agustus 2022. China telah menarik janji untuk tidak mengirim pasukan atau perwakilan ke Taiwan jika mengambil alih pulau itu.
Foto: EPA-EFE/RITCHIE B. TONGO
Tentara Taiwan menembakkan artileri selama latihan tembakan langsung di Pingtung, Taiwan, 09 Agustus 2022. China telah menarik janji untuk tidak mengirim pasukan atau perwakilan ke Taiwan jika mengambil alih pulau itu.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China telah menarik janji untuk tidak mengirim pasukan atau perwakilan ke Taiwan jika mengambil alih pulau itu. Dokumen resmi yang diperbarui disebut "Pertanyaan Taiwan dan Reunifikasi China di Era Baru" itu terbit pada Rabu (10/8/2022). "Era baru" adalah istilah yang umumnya dikaitkan dengan pemerintahan Presiden China Xi Jinping.

China telah mengatakan dalam dua dokumen putih sebelumnya tentang Taiwan pada 1993 dan 2000, bahwa mereka tidak akan mengirim pasukan atau personel pemerintahan untuk ditempatkan di Taiwan setelah mencapai penyatuan kembali. Penekanan ini dimaksudkan untuk memastikan Taiwan akan menikmati otonomi khusus setelah menjadi wilayah administrasi khusus China.

Baca Juga

Tapi, keterangan tersebut tidak muncul dalam dokumen putih terbaru. Partai Komunis China yang berkuasa telah mengusulkan agar Taiwan dapat kembali ke pemerintahan di bawah model "satu negara, dua sistem", mirip dengan formula di mana bekas jajahan Inggris Hong Kong kembali ke pemerintahan China pada 1997.

Keputusan ini akan menawarkan otonomi kepada Taiwan yang diperintah secara demokratis untuk melestarikan sebagian sistem sosial dan politiknya. Namun, semua partai politik utama Taiwan telah menolak proposal "satu negara, dua sistem" dan hampir tidak ada dukungan publik.

Sebuah poin di dokumen 2000 yang mengatakan apa pun bisa dinegosiasikan selama Taiwan menerima bahwa hanya ada satu China dan tidak mencari kemerdekaan juga hilang dari dokumen terbaru. Atas pembaruan ini, Dewan Urusan Daratan Taiwan mengutuk keputusan itu.

"Penuh dengan kebohongan angan-angan dan mengabaikan fakta," ujar Dewan Urusan Daratan Taiwan menegaskan Taiwan adalah negara berdaulat.

"Hanya 23 juta orang Taiwan yang memiliki hak untuk memutuskan masa depan Taiwan, dan mereka tidak akan pernah menerima hasil yang ditetapkan oleh rezim otokratis," ujar lembaga itu,

Taiwan telah hidup di bawah ancaman invasi Cina sejak 1949. Ketika itu pemerintah Republik China yang kalah melarikan diri ke pulau itu setelah Partai Komunis Mao Zedong memenangkan perang saudara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement