Jumat 12 Aug 2022 04:50 WIB

Makna Kebahagiaan di Mata Sang Filsuf Muslim Al Farabi

Kebahagiaan menurut Al Farabi adalah saat diri seseorang bertemu Penciptanya

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nashih Nashrullah
Al Farabi (Alpharabius)., Kebahagiaan menurut Al Farabi adalah saat diri seseorang bertemu Penciptanya
Foto: google.com
Al Farabi (Alpharabius)., Kebahagiaan menurut Al Farabi adalah saat diri seseorang bertemu Penciptanya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada banyak tokoh besar Muslim yang tercatat dalam sejarah. Salah satunya adalah filsuf Muslim bernama Abu Nasr Al-Farabi atau dikenal Al-Farabi.

Banyak sejarawan menduga dia lahir di suatu tempat di Asia Tengah sekitar tahun 878 M dan kemungkinan berasal dari Persia. Dia juga dikenal sebagai Alfarabius oleh para sarjana Latin pada abad pertengahan.

Baca Juga

Farabi merupakan sosok polimatik Muslim pada awal Keemasan Islam, yang dimulai pada akhir abad ke-9 dan berlangsung hingga sekitar pertengahan abad ke-13. Kala itu, banyak sarjana Muslim yang membuat kemajuan besar dalam bidang sains, filsafat, matematika, dan bidang lain.

Seperti intelektual Muslim lainnya pada masa itu, pengaruh Farabi tidak hanya terletak pada ide-ide orisinalnya tetapi juga karena dia membantu melestarikan keilmuan Yunani kuno yang tersedia bagi dunia Muslim setelah penaklukan Islam atas Syam pada abad ke-7. Secara khusus, Farabi dan rekan-rekannya membuat karya-karya filsuf Yunani lebih mudah diakses dengan penjelasan mereka.

Siapa itu Al Farabi?

Al Farabi dibesarkan di Damaskus dan hidup selama pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Karena dia tidak menulis otobiografi, sosoknya lebih banyak dikenal dari ide-idenya. 

Banyak sejarawan menduga ayahnya adalah seorang perwira militer asal Persia dan dia mungkin lahir di tempat yang sekarang disebut Afghanistan. Sementara yang lain percaya dia lahir di Kazakhstan atau Uzbekistan.

Farabi digambarkan sebagai karakter introvert yang menghabiskan sebagian besar waktunya belajar di ibu kota Abbasiyah, Baghdad. Beberapa sumber menyatakan dia dipengaruhi tradisi sufi Islam dan dia menghabiskan waktu di kota Bukhara yang sekarang disebut Uzbekistan.

Selama hidupnya, Farabi bekerja sebagai ahli hukum dan akademik. Dia banyak menghasilkan karya tentang logika, metafisika, etika, politik, musik, dan kedokteran, dan bidang lainnya.    

Dilansir Middle East Eye, Kamis (11/8/2022), Farabi paling dikenal karena komentarnya tentang Aristoteles dan karya-karya Plato yang dia terbitkan dalam bukunya berjudul Philosophy of Plato and Aristotle

Buku ini mencakup ringkasan dan interpretasi dari karya-karya mereka dan membahas topik-topik seperti asal usul filsafat modern.

Dalam bukunya The Attainment of Happiness, Farabi menulis bahwa titik akhir logika adalah mencapai kebahagiaan karena itulah tujuan hidup dan alasan utama keberadaan manusia. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menghalangi seseorang untuk mencapai kebahagiaan adalah hal jahat.

Baca juga: Dulu Pembenci Adzan dan Alquran, Mualaf Andreanes Kini Berbalik Jadi Pembela Keduanya

Mengejar kebahagiaan terdiri dari empat kebajikan, termasuk teoritis (pengetahuan tentang apa yang benar dan baik), deliberatif (pengetahuan tentang bagaimana mencapai apa yang baik), moral (keinginan untuk kebaikan), dan tindakan praktis (perilaku) untuk mencapai apa yang baik.

Karya Farabi juga dipengaruhi teologi Islam dan dia membedakan antara kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan akhirat yang diperjuangkan umat Islam. 

Ketika menggambarkan jiwa, Farabi menggabungkan agama dengan sains. Dia menganut gagasan Plato bahwa jiwa manusia memiliki tiga bagian utama, termasuk nafsu makan (keinginan kita), semangat (emosi kita), dan rasional (alasan kita) yang semuanya harus bekerja sama secara harmonis. 

 

Sumber: middleeasteye 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement