REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, merespons Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) yang mencekal tersangka kasus korupsi penguasaan lahan sawit, Surya Darmadi, keluar negeri pada Kamis (11/8/2022). Menurutnya, Kejaksaan RI harus memastikan Surya Darmadi berada di Indonesia terkait pencekalan itu.
Abdul menyampaikan status cekal pantas diterima oleh mereka yang sedang berurusan dengan perkara. Status mereka sebagai tersangka atau saksi membuat pencekalan dilakukan.
"Apakah tepat mencekal Surya Darmadi? Dalam konteks peristiwa pidana pasti tepat karena SD sudah berstatus tersangka," kata Abdul kepada Republika.
Terkait keberadaan Surya Darmadi apakah benar-benar berada di Indonesia, Abdul meyakini hal itu mestinya sudah dikonfirmasikan oleh Kejaksaan RI kepada Ditjen Imigrasi. Jika tidak, maka ia khawatir adanya kongkalikong soal terlambatnya pencekalan Surya Darmadi.
"Jika kemudian tidak berada di Indonesia, maka patut diduga ada hanky panky(penyelewengan) antara tersangka dengan otoritas keluar masuknya orang ke luar negeri dengan alasan belum ada pencekalan," ujar Abdul.
Oleh karena itu, Abdul mengingatkan Kejaksaan RI sebenarnya wajib mengeluarkan notifikasi kepada Ditjen Imigrasi soal lokasi Surya Darmadi. "Soal kesalahan siapa harus diteliti kasusnya, apakah benar Kejaksaan sudah membuat pemberitahuan kepada Imigrasi, jika belum kesalahan pada instansi yang mencekalnya," ucap Abdul.
Diketahui, Surya Darmadi selaku pemilik Duta Palma Group menjadi induk dari lima perusahaan; PT Banyu Bening Utama, PT Panca Argo Lestari, PT Seberida Subut, PT Palma Satu, dan PT Kencana Alam Tani. Sejumlah perusahaan tersebut, menurut Jaksa Agung, terbukti otentik sebagai milik dari Surya Darmadi. Pada 2003, Surya Darmadi bersama dengan tersangka Raja Tamsir, Surya melakukan kesepakatan yang melanggar hukum. Yaitu persekongkolan jahat untuk mendapatkan, mempermudah, serta memuluskan perizinan kegiatan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit. Dalam kegiatan tersebut, Surya meminta agar Raja Tamrin sebagai kepala daerah, memberikan izin kegiatan usaha pengelolaan kelapa sawit melalui HGU kepada lima anak perusahaannya.
Namun, yang mereka pakai adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) di hutan produksi terbatas (HPT) dan lahan hutan penggunaan lainnya (HPL) di wilayah Indragiri Hulu, Riau. Dalam penerbitan HGU itu, Raja Tamrin memberikan kemudahan dengan pembuatan kelengkapan perisinan terkait lokasi dan izin usaha perkebunan. Pembuatan izin tersebut dilakukan tanpa adanya izin prinsip dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).