Jumat 12 Aug 2022 09:43 WIB

Centra Initiative Tolak Pengembalian Dwi Fungsi ABRI

Ini kemunduran dalam demokrasi.

Red: Joko Sadewo
Al Araf menolak gagasan pengembalian dwi fungsi ABRI (TNI).
Foto: istimewa/tangkapan layar
Al Araf menolak gagasan pengembalian dwi fungsi ABRI (TNI).

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA — Centra Initiative menolak usulan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, agar revisi UU TNI memuat penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil di kementerian/lembaga.

“Ini kemunduran demokrasi dan melemahkan profesionalisme militer,” kata Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf dalam siaran pers Jumat (12/8/2022).

Upaya melibatkan kembali TNI ke urusan sipil akan mengembalikan dwifungsi ABRI kembali, seperti di masa Orde Baru.  Menurutnya, menempatkan TNI aktif dalam jabatan sipil merupakan bentuk pengingkaran agenda reformasi.

“Mencabut doktirn dwifungsi ABRI adalah salah satu agenda penting  dari agenda reformasi 1998. Jika agenda itu terus dilakukan pemerintah, maka hal itu menunjukan kegagalan pemerintah dalam melanjutkan amanat reformasi,” kata Al Araf.

Dalam UU TNI nomer 34 tahun 2004 yang berlaku saat ini, militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional (Pasal 47 ayat 2 UU TNI).

Diungkapkannya, agenda untuk memperluas penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil melalui revisi UU TNI adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara.

Ombudsman RI sendiri mencatat sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Bahkan, belakangan ini sudah ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat.

Secara hakikat, menurut Al Araf, TNI memiliki dimensi kultural, struktural, doktrin, maupun organisasional yang berbeda dengan organisasi pemerintahan sipil. Prajurit TNI dididik untuk bertempur menghadapi peperangan, bukan untuk melayani masyarakat layaknya lembaga pemerintahan sipil. 

“Untuk itu TNI harus dikembalikan pada ruangnya dan fokus pada fungsi utamanya untuk melindungi dan mempertahankan negara dari ancaman perang,” kata dia.

TNI harus fokus pada agenda reformasi institusinya menuju TNI yang lebih profesional yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement