REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Laporan kantor berita pemerintah Iran IRNA pada Jumat (12/8/2022) menyatakan, sebuah proposal dari Uni Eropa (UE) untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir dapat diterima jika memberikan jaminan pada tuntutan utama Iran. Awal pekan ini, UE mengatakan, telah mengajukan teks final setelah empat hari pembicaraan tidak langsung antara Amerika Serikat (AS) dan pejabat Iran di Wina.
Seorang pejabat senior Uni Eropa mengatakan, tidak ada lagi perubahan yang dapat dilakukan pada teks final yang telah dinegosiasikan selama 15 bulan. Dia mengharapkan, keputusan akhir dari para pihak dalam bisa muncul dalam beberapa minggu.
IRNA mengutip diplomat Iran yang tidak disebutkan namanya mengatakan, Teheran sedang meninjau proposal tersebut. “Usulan oleh UE dapat diterima jika mereka memberi Iran jaminan tentang masalah perlindungan, sanksi, dan jaminan,” kata diplomat itu.
Iran telah berusaha untuk mendapatkan jaminan bahwa tidak ada presiden AS di masa depan yang akan mengingkari kesepakatan jika itu dihidupkan kembali. Teheran tidak ingin yang dilakukan Presiden AS Donald Trump pada 2018 terulang.
Tapi, Presiden AS Joe Biden tidak dapat memberikan jaminan ketat seperti membebaskan dari segala sanksi yang sudah diberlakukan. Kesepakatan itu dinilai adalah pemahaman politik daripada perjanjian yang mengikat secara hukum. Washington mengatakan, siap untuk segera mencapai kesepakatan untuk memulihkan kesepakatan berdasarkan proposal UE.
Para pejabat Iran mengatakan, akan menyampaikan pandangan dan pertimbangan tambahan kepada UE setelah konsultasi di Teheran.
Perjanjian yang dikenal Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tampaknya hampir bangkit kembali pada Maret. Namun 11 bulan pembicaraan tidak langsung antara Iran dan pemerintahan Biden di Wina menjadi kacau. Kemandegan ini muncul terutama karena desakan Teheran agar Washington menghapus Korps Pengawal Revolusi elitnya dari daftar Organisasi Teroris Asing.
Melalui perjanjian yang diteken bersama pada 2015, Iran mengekang program pengayaan uranium yang disengketakan sebagai imbalan atas keringanan sanksi AS, UE, dan PBB. Teheran mengatakan menginginkan tenaga nuklir hanya untuk tujuan damai.