REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akmal Nasery Basral*
Awalnya saya ingin memberi judul tulisan ini dengan “Pengabdi Setan”, meminjam judul film terbaru Joko Anwar, untuk tiga peristiwa mutakhir di tanah air yang menyita perhatian publik.
Namun saat melakukan sahur puasa tiga hari tengah bulan (ayyamul bidh) jelang subuh tadi, tersiar kabar penusukan terhadap Salman Rushdie, 75 tahun, novelis The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), yang sedang memberikan kuliah umum di Institusi Chautauqua, New York.
Lembaga yang berdiri pada 1874 itu disebutkan mantan Presiden Theodore Roosevelt sebagai “hal paling Amerika di Amerika ( the most American thing in America)” saat dikunjunginya pada 1905. Tiga presiden AS lainnya yang pernah menyampaikan kuliah umum di Chautauqua adalah Ulysses S. Grant (1875), Franklin D. Roosevelt (1936) dan Bill Clinton (1996).
Moderator Henry Reese baru membuka acara dan menyilakan Rushdie bicara ketika seorang lelaki bergegas naik panggung dan menunjam Rushdie berulang kali di leher dan sekitar tulang belikat. Pelaku yang diidentifikasi polisi sebagai Hadi Matar, 24 tahun, warga New Jersey, itu juga menikam Reese meski tak membuat luka separah yang dialami sang pengarang kontroversial kelahiran Mumbai, India, yang membuatnya segera diterbangkan dengan helikopter ke rumah sakit di Erie, Pennsylvania, untuk menjalani operasi.
“Saya kira lelaki itu naik panggung untuk memperbaiki mikrofon yang akan dipakai Rushdie,” ujar Julia Mineeva-Braun, seorang saksi mata yang duduk tak jauh dari bibir panggung.
Ayat-Ayat Setan terbit pada 1988 dan menuai kecaman dari dunia Islam karena isinya menghina Nabi Muhammad (di dalam novel nama sang nabi ditulis Mahound). Meski lahir dari keluarga Muslim, Rushdie mendaku dirinya tak menjalankan syariat (non-practicing) dan, pada kesempatan lain, mendaku sebagai ateis.
Setahun kemudian, Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi Rushdie. Iming-iming hadiah USD 3 juta (dengan kurs hari ini sekitar Rp 43,9 miliar) ditawarkan bagi siapa pun yang bisa melakukannya. Tahun 2012, sebuah yayasan agama di Iran menambahkan jumlah hadiah sebanyak USD 500.000 (Rp. 7,3 miliar) sehingga total hadiah menjadi USD 3 juta atau lebih dari Rp 50 miliar.
Belum jelas apakah Hadi Matar termotivasi melakukan penikaman untuk mendapatkan hadiah uang atau sekadar menunjukkan loyalitas umat Syiah yang taat pada fatwa Khomeini. Sejauh ini aparat kepolisian NYC baru mengumumkan Matar sebagai fans fanatik Iran dan Korps Pengawal Revolusi Iran (Sepah-e Pasdaran-e Enghelab-e Islami).