Sabtu 13 Aug 2022 12:18 WIB

MPR Nilai Langkah Mundur Tempatkan Perwira Aktif di Jabatan Sipil

Syarief menegaskan revisi UU TNI tidak krusial dan kontekstual.

Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/9).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR Syarief Hasan mengkritik wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kritik itu terkait wacana menempatkan perwira aktif di berbagai jabatan sipil, karena langkah mundur bagi reformasi dan semangat profesionalisme TNI.

Dia menjelaskan, salah satu agenda dan amanat besar reformasi adalah menempatkan TNI sebagai alat utama sistem pertahanan. Membuka keran peran sosial politik TNI di institusi sipil sama saja dengan mengkhianati semangat reformasi.

Baca Juga

"Bahkan ini akan membuat bias fungsi pertahanan yang diemban oleh militer, apalagi tantangan global dalam menghadapi perang teknologi, asimetri, dan siber semakin nyata," kata Syarief Hasan dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (13/8/2022).

Dia mengkritik wacana revisi UU TNI yang membuka ruang penempatan pejabat militer aktif di berbagai institusi kementerian/ lembaga maupun institusi sosial politik lainnya. Menurut dia, wacana tersebut bertentangan dengan semangat Reformasi TNI, bahkan kontraproduktif dan akan mengembalikan dwifungsi ABRI. Hal itu dikhawatirkan akan kembali mengulang kesalahan dan kegagalan fungsi pertahanan era Orde Baru.

"Peran dan fungsi TNI harus dipertajam/diperkuat. Kita semua menyadari kedaulatan nasional kita acapkali terancam, kekayaan laut kita dijarah, tumpang tindih klaim wilayah NKRI oleh negara lain, serta kondisi alutsista yang masih tertinggal," ujarnya.

Menurut dia, hal yang terpenting adalah penguatan fungsi pertahanan dalam menjaga kedaulatan NKRI, sehingga energi militer harus difokuskan sepenuhnya, jangan justru membuat bias menjadikan militer memerankan fungsi sosial politik.

Karena itu dia menilai, wacana revisi UU TNI tidak krusial dan tidak kontekstual. Menurut dia, isu strategis yang harus didorong adalah pemenuhan kekuatan pokok minimum (MEF), kesejahteraan prajurit, penegakan kedaulatan wilayah NKRI terutama di wilayah terdepan dan terluar, serta peningkatan kapasitas TNI dalam menghadapi perang asimetris.

"Saya mendukung segala bentuk penguatan fungsi pertahanan dalam kerangka menegakkan kedaulatan NKRI, tetapi bukan dengan cara mengembalikan peran militer dalam kehidupan sosial politik," tuturnya.

Syarief mengatakan, revisi UU TNI dengan maksud menempatkan perwira aktif di institusi kementerian/ lembaga sipil adalah langkah mundur yang harus ditolak. Dia mengaku bersyukur Presiden Joko Widodo menolak usulan revisi UU TNI.

Selain itu, dia menyadari bahwa di Kementerian Pertahanan terdapat banyak Perwira Tinggi yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi. Namun memiliki ruang sempit sehingga tidak memiliki jabatan dan jenjang yang terbatas.

"Masalah itu yang harus diselesaikan di intern TNI AD bukan dengan mewacanakan kebijakan mundur atau mencederai semangat reformasi yang digagas TNI AD sejak era reformasi antara lain oleh Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono," ujarnya.

Syarief menilai apabila perwira TNI AD yang masih aktif tersebut ingin berkarier di jabatan sipil/ politik, maka pilihannya adalah mundur terlebih dahulu. Ini sesuai yang diatur UU TNI, bukan dengan merevisi UU tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement