Ahad 14 Aug 2022 12:59 WIB

Komnas Perempuan Ungkap Urgensi Perlindungan Perempuan Adat

Keteguhan perempuan adat dalam berjuang merawat bumi rentan mengalami hambatan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andi Nur Aminah
Warga Dayak Meratus (ilustrasi)
Foto: Antara/Bayu Pratama S
Warga Dayak Meratus (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan agenda perlindungan terhadap perempuan adat. Pasalnya, keteguhan perempuan adat dalam berjuang merawat bumi rentan mengalami hambatan. 

Sepanjang 2020 hingga pertengahan 2022, Komnas Perempuan menerima 13 laporan pengaduan tentang kondisi perempuan adat dalam pusaran konflik sumber daya alam (SDA) di berbagai wilayah Nusantara. Di dalam laporan-laporan tersebut maupun hasil pantauan di lapangan, Komnas Perempuan mengenali kerentanan perempuan adat pada kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, lenyapnya lingkungan yang aman dan sehat.

Baca Juga

"Lalu mereka menghadapi polusi udara dan rusaknya tanah, sumber-sumber pertanian dan perkebunan sehingga kesulitan air bersih, kehilangan sumber penghidupan, berkurang istirahat berkualitas, terpapar penyakit seperti ispa, kulit gatal-gatal, depresi," kata Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat dalam keterangan pers yang dikutip Republika.co.id pada Ahad (14/8/2022). 

Rainy mengungkapkan perempuan adat mengalami beban berlapis ketika terjadi konflik SDA, termasuk beban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pangan keluarga ketika kehilangan sumber penghidupannya. Salah satu pola khas penghidupan perempuan adat adalah bertumpu pada ‘memungut’ hasil hutan yang tidak dapat lagi mereka lakukan ketika kehilangan hutan adat. 

"Perempuan pun mengalami pelanggaran hak atas rasa aman akibat ancaman, pelecehan, stigma, pengusiran, penganiayaan, kriminalisasi, serta kehilangan hak atas informasi dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Mereka kehilangan hak atas pekerjaan yang layak karena terpaksa beralih profesi menjadi buruh harian atau musiman dan menambang batu dan menjadi pencari nafkah utama," ucap Rainy. 

Rainy juga menyinggung terganggunya kondisi kesehatan reproduksi perempuan adat disebabkan asupan gizi yang kurang. Selain itu juga potensi terpapar bahan kimia yang digunakan dalam pengelolaan tambang dan perkebunan sawit serta musnahnya sumber makanan dari hutan. 

"Hilangnya mata pencaharian para orang tua masyarakat hukum adat telah mengakibatkan anak-anak kehilangan haknya atas pendidikan karena putus sekolah, berhenti sekolah untuk sementara, atau terpaksa bekerja di luar kampung untuk membantu orang tuanya," ungkap Rainy. 

Oleh karena itu, Komnas Perempuan menegaskan urgensi melindungi perempuan adat. Sebab tanah, sawah/ladang, kerajinan tangan lokal bahkan ritual adalah bagian dari identitas perempuan adat. Penyemaian bibit, pengolahan dan perawatan sawah/ladang hingga panen dan pengolahan konsumsi pascapanen menjadi bagian dari siklus hidup perempuan. 

"Oleh karena itulah, siklus kehidupan perempuan adat kuat melekat berelasi dengan perawatan alam, termasuk menjalankan spiritualitas dan budaya yang bertumpu pada tanah," ujar Rainy. 

Di sisi lain, para perempuan pembela HAM (PPHAM) yang berjuang untuk masyarakat adat pun rentan mengalami kriminalisasi. Dalam rentang 2005-2022, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 50 kasus yang melibatkan PPHAM. 

"Mereka menghadapi ancaman pidana hingga pembunuhan atas perjuangannya bersama masyarakat adat," sebut Rainy. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement