Senin 15 Aug 2022 09:57 WIB

Dana Sawit Banyak Mengalir ke Biodiesel, Petani Gigit Jari

Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap penerapan dana pungutan ekspor sawit.

Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap larangan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk-produk turunannya tidak berlangsung lama, karena akan mempengaruhi keseluruhan ekosistem industri sawit nasional.
Foto: ANTARA/Budi Candra Setya
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap larangan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk-produk turunannya tidak berlangsung lama, karena akan mempengaruhi keseluruhan ekosistem industri sawit nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus mencari titik keseimbangan industri sawit. Sebelumnya, pemerintah menerapkan larangan ekspor guna menekan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Kini saat harga minyak goreng mulai terkendali, giliran industri hulu dalam hal ini petani sawit yang kena getahnya.

Upaya pemerintah melarang ekspor membuat tangki-tangki penyimpanan pabrik pengolahan sawit penuh. Imbasnya, kemampuan pabrik untuk menyerap tandan buah segar (TBS) sawit petani menjadi terbatas sehingga menekan harga beli di tingkat petani.

Kini, pemerintah menerapkan penangguhan atau pencabutan sementara pungutan ekspor sawait untuk menggairahkan lagi ekspor sawit dengan harapan bisa mendongkrak lagi harga sawit di tingkat petani.

Sejumlah pihak memandang, pencabutan sementara pungutan ekspor sawit sepertinya tak akan cukup efektif memperbaiki iklim industri kelapa sawit yang sedang tidak baik-baik saja. Butuh eveluasi menyeluruh perihal pemanfaatan dana sawit ini.

Peneliti Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpandangan, salah satu akar masalah terkait pungutan sawit adalah pemanfaatannya yang tidak tepat sasaran. "Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," kata dia dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Senin (15/8/2022).

Benar saja, berdasarkan Kepmen ESDM No. 258K/10/DJE/thn 2016 Tentang Penetapan Badan Usaha BBN dan alokasi besaran volumenya untuk pengadaan BBN jenis Biodiesel di PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, alokasi dana sawit untuk kepentingan biodiesel hanya dirasakan oleh segelintir perusahaan saja yang dipilih lewat skema penunjukan langsung.

Adapun nama penerima alokasi dana sawit untuk pengadaan biodiesel sesuai dengan Kepmen ESDM tersebut adalah sebagai berikut:

Penunjukan Perusahaan yang mendapat alokasi untuk PT Pertamina yaitu :

1. PT. Cemerlang Energi Perkasa

2. PT. Wilmar Bioenergi Indonesia

3. PT. Pelita Agung Agrindustri

4. PT. Ciliandra Perkasa

5. PT. Musim Mas

6. PT. Darmex Biofuels

7. PT. Energi Baharu Lestari

8. PT. Wilmar Nabati Indonesia

9. PT. Primanusa Palma Energi

10. PT. Indo Biofuels Energy

11. PT. Bayas Biofuels

12. PT. LDC Indonesia

13. PT. SMART Tbk

14. PT. Tunas Baru Lampung

15. PT. Multi Nabati Sulawesi

Penunjukkan Perusahaan yang mendapat alokasi untuk PT AKR Corporindo yaitu :

1. PT. Musim Mas

2. PT. Wilmar Bioenergi Indonesia

3. PT. Wilmar Nabati Indonesia

4. PT. LDC Indonesia

Di sisi lain, kata Nailul Huda, pemanfaatan dana sawit untuk pengadaan biodiesel juga dinilai tak sejalan dengan semangat pengembangan industri sawit sebagai tujuan awal diterapkannya dana pungutan ekspor sawit ini.

"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali. Kacau balau," tegas dia.

Dengan kondisi saat ini, tak berlebihan menurutnya, bila pemerintah mulai memikirkan untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan dana pungutan ekspor sawit. Jangan sampai, saat pungutan sawit kembali diterapkan malah akan ada beban baru bagi pelaku industri sawit baik produsen, pabrik pengolahan hingga petani. Padahal, mereka sendiri tidak merasakan manfaat dari penerapan dana pungutan sawit itu.

Sejak Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) pada tahun 2015, BPDP-Sawit sudah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp 137,28 triliun dari potongan penjualan ekspor CPO (Crude Palm Oil) hingga 2021.

Penggunaan dana yang dikumpulkan tersebut tidak banyak memberikan dampak kepada petani sawit karena dana pungutan sawit lebih banyak digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel.

Total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16 persen dari total dana sawit. Namun, anggaran untuk industri sawit justru sangat minim. Hingga tahun 2021, dari total dana pungutan sawit, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8 persen.

Sementara anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp 199 miliar atau hanya 0,14 persen dari total dana sawit. Desakan evaluasi penerapan pungutan ekspor sawit atau dana sawit sebenarnya bukan sekali dua kali disuarakan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement